Berjuang Melupakan Amarah
Salah satu sifat yang diciptakan Allah dan selalu saya syukuri adalah sifat lupa.
Mungkin sifat lupa secara umum berkonotasi buruk, tetapi tahukah kamu, kalau lupa itu tidak selalu buruk?
Sebagaimana kata lupa dan ingat, maka negative dan positif pun adalah sifat berpasangan yang diciptakan oleh Allah dengan hikmah di baliknya.
Misalnya, kita sedang berada dalam kondisi mengingat perlakuan buruk seseorang maka kata “ingat” ini berarti buruk buat pikiran dan hati kita. Tentu berbeda apabila yang diingat adalah perlakuan baik terhadap diri.
Sebaliknya, saat kita diberi lupa oleh Allah dalam hal kenangan buruk atau perlakuan tidak menyenangkan maka “lupa” adalah anugerah yang patut disyukuri. Bayangkan, seandainya kita tidak diberi sifat lupa, maka semua hal yang buruk dalam sepanjang hidup kita akan menjadi sesuatu yang sangat menyiksa.
Bukan semata perlakuan buruk orang terhadap diri kita, tetapi perbuatan buruk kita sendiri (baca = aib) yang ingin dikubur sedalam-dalamnya, kenaasan yang menimpa akibat ketololan diri, dan masih banyak lagi. Tentu saja, kita ingin melupakan semua itu lalu menggantinya dengan hal-hal dan peristiwa-peristiwa yang baik dengan harapan keburukan itu tertutupi dengan kebaikan.
Salah satu keburukan lupa vs ingat versi saya adalah marah yang berujung pada tak mau bersua, tak mau menyapa dan andai bisa, melupakan wajahnya dan menolak kenyataan kalau pernah berkenalan bahkan pernah berjumpa dengannya walau hanya sedetik.
Pernah mengalaminya?
Yap, saya pernah mengalami bukan hanya sekali, tetapi beberapa kali.
Berhasil melupakannya?
Ada yang berhasil, tetapi lebih banyak gagal, hiks..hiks… hehehe.
Baca juga tulisan tentang LUPA di sini
Melupakan Amarah
Seseorang yang disebut mantan adalah orang yang pernah dekat dengan kita untuk berbagai macam versi. Bisa sebagai mantan kekasih, mantan istri/suami, mantan guru/murid, mantan rekan kerja, dsb.
Beberapa puluh tahun lalu, saya pernah memiliki mantan pemuja. Dia bukan pacar atau kekasih, saya tidak mengakui itu karena saya tak pernah merasa menyukainya hingga detik ini. Namun, kenyataannya saya pernah dekat dengannya. Nyaris jatuh dalam rengkuhannya dan sepertinya mulai timbul benih-benih rasa suka kepadanya.
Suatu waktu saya menemukan sesuatu yang aneh dari sikapnya juga sikap saya. Kok, saya bisa tiba-tiba suka yah? Lalu saya menyelidiknya bak detektif Conan. Alhamdulillah, Allah Maha Penolong. Saya menemukan caranya yang tidak elok yang membuat saya menyukainya.
Antara percaya atau tidak, tetapi nyata adanya. Bahwa, guna-guna dan sihir bisa mengubah hati tidak suka menjadi suka. Begitu saya temukan benda yang digunakannya, perasaan saya berbalik 180 derajat. Berubah jadi benci dan marah semarah-marahnya.
Mungkin dia mengikuti jargon yang ngetop pada zamannya, yaitu “cinta ditolak, dukun bertindak.”
Saya butuh waktu bertahun-tahun untuk betul-betul melupakan kebencian dan amarah itu. Maka ketika ia meminta maaf dan mengakui perbuatannya, saya tidak langsung memaafkan.
Saya berdoa agar melupakan dia dan memberi ingatan baru, bahwa dia bukan siapa-siapa, kami tak pernah punya urusan, kami hanya sekadar kerabat yang tautannya jauh dan longgar.
Ternyata Allah mengabulkannya. Sebab setelahnya, terjalinlah silaturahim, tetapi hampa tanpa ada rasa sedikit pun, setidaknya di hati dan pikiran saya.
Saya melihatnya sebagai orang biasa yang selaiknya orang di pinggir jalan atau seseorang yang baru berjumpa lalu saya tersenyum, menyapa ala kadarnya, basa basi seperlunya demi menjaga etika dalam pergaulan.
Mungkin sikap seperti itu pada dasarnya adalah kebencian atau amarah yang tak terukur sehingga tak punya rasa apa-apa lagi.
Mungkin saja begitu, karena ketika dia sakit dan minta untuk bertemu, tak ada sedikit pun niat untuk menemuinya. Entahlah, saya hanya merasa seperti itu.
Di masa lalu dengan orang yang berbeda, saya mengalami perundungan verbal.
Di matanya, saya yang masih anak remaja dianggapnya saingan dalam berbagai hal. Mama saya hanya bisa diam sembari diam-diam berdoa, bahwa kelak orang itu akan datang kepada saya meminta bantuan.
Doanya diijabah, tapi perasaan saya sudah terlanjur hambar sekalipun kami masih bersilaturahim.
Untuk persoalan yang satu ini, saya masih sering mengingatnya dan sesekali bercerita kepada suami. Kata suami, sebenarnya saya belum memaafkan. Ucapan dengan isi hati saya belum kompak.
Mohon ampun ya Allah!
Saya tidak mau merawat ingatan itu, tolonglah hilangkan perasaan itu atau setidaknya, janganlah membiarkan mulut saya bercerita tentang masa lalu tersebut, entah itu sekadar ngobrol ngalur ngidul sama saudara atau berkeluh kesah kepada suami apalagi bercerita kepada anak-anak saya.
Persoalan yang serupa tetapi tak sama terjadi lagi, kali ini menyangkut anak saya. Seseorang menggibah anak saya bahkan cenderung memfitnahnya. Saat itu saya mau bilang, mending kamu menggibah saya deh, daripada menggibah anak saya.
Sungguh sulit melupakannya. Rasanya jauh lebih sulit mengatasinya dibandingkan ketika itu menimpa pribadi saya.
Kalau ada yang “menusuk” saya dari belakang, melakukan segala upaya untuk menjatuhkan lalu berpura-pura baik, berjuang mengambil posisi yang memang akan saya lepaskan dengan cara mem-framing saya sebagai orang yang gagal, kemudian datang dengan muka munafiknya. Maka hal-hal seperti itu masih bisa saya tolerir dan mencoba memaklumi ketololan intelektualnya.
Namun, jika sudah menyangkut nama baik anak saya. Maaf, saya tidak bisa terima.
Meski kita masih bisa duduk bersama, mungkin kamu masih bisa menerima anggukan kepala, tetapi di hati dan pikiran belum bisa se- move on dahulu.
Jangan bilang, saya membiarkan amarah dan rasa mual itu bersarang di otak. Saya sudah berjuang sekuat-kuatnya untuk menormalkan perasaan, tetapi ya Allah, tolonglah jiwa yang lemah ini agar bisa melupakan amarah.
Mengelola marah agar tidak meledak ternyata tidak semudah merobek kertas.
Nasihat-nasihat yang ditulis oleh psikolog atau para motivator dalam artikel-artikel maupun tulisan di buku, bagi saya tak ada satu pun yang manjur. Satu-satunya yang menenangkan jiwa lemah saya adalah berdoa dan mohon agar hati saya dibalikkan dari marah menjadi tidak marah.
Bukankah Allah Azza Wajalla Maha Membolak-balikkan hati manusia?
Kalau kamu bagaimana? Apa tindakanmu mengendalikan amarah? Bagi pengalamannya di kolom komentar yah.
Makassar, 8 Januari 2025
Dawiah
Post a Comment