Mengenal Printilan Menjahit

Friday, October 25, 2024

 


printilan menjahit -- www.mardanurdin.com


Jika dihitung-hitung, waktu saya untuk menekuni hobi menjahit jauh lebih lama dibandingkan menjalankan profesi saya sebagai guru. Cobalah dihitung, saya mulai mengajar pada tahun 1984 sebagai guru honorer kemudian menjadi guru ASN tahun 1986 dan insya Allah akan berhenti menjadi guru alias pensiun pada tahun 2025. 

Sedangkan hobi menjahit (bukan profesi sebagai penjahit) sudah saya tekuni sejak tahun 1980 hingga sekarang dan akan terus saya lakukan sampai badan ini tidak bisa lagi berdiri atau melakukan aktivitas itu.


Read More

Perjalanan Mengarungi lautan ke Pulau Selayar

Wednesday, October 23, 2024

  


Perjalanan Mengarungi Lautan ke Pulau Selayar/www.mardanurdin.com

 
Read More

Inilah 8 Manfaat Memiliki Hobi Menjahit

Friday, October 11, 2024





manfaat memiliki hobi menjahit --- www.mardanurdin.com


Inilah Manfaat Punya Hobi Menjahit

Read More

Pernah Ditipu; Cerita Akhir September

Tuesday, October 1, 2024

 

Pernah Ditipu/www.mardanurdin.com



Cerita di akhir September saya adalah cerita tentang kunjungan ke kedua tempat fasilitas kesehatan. Dimulai pada konsultasi kesehatan di Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) lalu mendapatkan surat rujukan untuk ke rumah sakit dengan fasilitas lebih lengkap dan dengan dokter ahli.

Namun, saya tidak akan bercerita tentang apa, mengapa, apalagi alasan ke kedua tempat yang tidak diinginkan itu. Lalu apa yang menarik untuk diceritakan dari tempat yang saya datangi itu?

Saya tiba di puskesmas sekitar pukul 09.00 lewat beberapa menit. Nampak pasien masih sedikit, tetapi para petugas kesehatan sudah bersiap-siap di tempatnya masing-masing untuk pelayanan. Karena itulah saya berjalan santai ke loket pengambilan nomor antrian, ternyata saya tak perlu antri karena langsung dimintai kartu kontrol kemudian ditanyai siapa yang mau berobat.

Tidak butuh waktu lama, urusan di loket selesai, saya dipersilahkan duduk menunggu panggilan untuk diperiksa sama dokter.

Saat duduk di kursi panjang, tak sengaja saya mendengar obrolan dua orang ibu-ibu, tapi saya tidak tahu mereka ngobrolin apa, soalnya keduanya berbahasa Jawa. Dari bahasa tubuh keduanya, kelihatan si ibu yang memakai baju kaus mengeluh kepada si ibu yang berjilbab abu-abu dan si ibu berjilbab mendengarkan dan bicara acuh tak acuh.

Sesekali terdengar mereka berbahasa Indonesia, jadi ada sedikit informasi yang saya dapatkan dari obrolan itu. Mungkin rasa penasaran saya tak bisa bersembunyi di balik wajah sok polos saya sehingga si ibu berjilbab menengok ke arah saya, lalu mengangguk ramah dengan sorot mata  nampak kesal ke lawan bicaranya. 

Obrolan mereka terhenti karena si ibu berjilbab dipanggil melalui pengeras suara. Tiba-tiba si ibu berbaju kaus mendatangi saya dan terjadilah obrolan yang cukup panjang.

Telinga saya rasanya gerah mendengar keluhannya, mulai dari susahnya punya suami pengangguran, jadi pendamping penerima Program Keluarga Harapan (PKH) di mana penerima PKH tidak tahu terima kasih, dsb. Namun, yang menarik dari setiap permasalahan yang dikeluhkannya adalah selalu ada kalimat yang seakan-akan minta dibantu.

Seperti ini.

“Kalau saya ke rumah sakit atau ke puskesmas, perawat dan dokter  selalu menyelipkan uang karena mereka tahu kehidupan saya yang miskin.”

“Bahkan kalau ketemu orang baru dan mendengar cerita saya, selalu kasihan pada saya dan pasti dia  memberi bantuan.” 

Lah, ini seakan menyindir saya. Coba disimak, kita baru ketemu, tidak saling kenal sebelumnya lalu dia bercerita tentang kehidupannya yang susah. Berarti harusnya saya kasihan dan memberi dia bantuan bukan?

Pantas waktu ngobrol dengan si ibu berjilbab tadi, mukanya nampak sewot. 

Sebagai orang yang berkali-kali ditipu oleh orang yang menjual kesusahan dan kemiskinannya, saya menjadi lebih hati-hati dan tidak mudah tersentuh apalagi langsung kasihan dan memberi sesuatu. 

Oh tidak semudah itu, oncom basi!

Otak saya terlanjur merekam peristiwa di mana saya ditipu oleh orang yang pandai memanfaatkan rasa kasihan saya. Bukan sekali saja soalnya, lebih dari lima kali.

Lima kali, saudara-saudara! Dan orang-orang itu lenyap entah kemana. 

Ada yang menyamar jadi mantan murid saya yang minta pinjam uang karena ijazah anaknya ditahan oleh pihak sekolah. Goblognya saya, karena masih percaya kalau hari ini sekolah bisa menahan ijazah siswanya gara-gara tidak membayar. Padahal pembayaran uang SPP sudah lama dihapus. Duh!

Sekitar tahun 2000, seorang laki-laki tua sepantaran suami saya pernah datang ke rumah. Dia mengaku mantan murid saya  ketika masih jadi guru honorer sekitar tahun 1985. Saya menerimanya dengan baik, menjamu sambil berusaha mengingat-ingat wajahnya. Katanya dia tinggal di luar kota, habis dicopet sekian juta, lalu mau pulang kampung, tapi uang transport tidak ada. 

Ngakunya, satu-satunya  rumah gurunya yang sering dia kunjungi dulu adalah rumah saya makanya dia tidak lupa. Katanya lagi, saya adalah guru yang paling dia kagumi, baik hati, tidak sombong dan tidak PELIT. 

Nah, di situlah kuncinya, saya haus pujian wkwkwk. 

Maka uang Rp. 200.000 melayang yang katanya hanya mau dipinjam dan akan dibayar bulan depan. Sekarang sudah tahun 2024 dan si mantan murid itu tidak kunjung datang membayar utangnya. Mungkin sudah koit. Saat saya menceritakan itu kepada suami, beliau bilang begini.


“Bisa-bisanya kamu percaya dia mantan muridmu sedangkan mukanya setua muka saya. Waktu kamu jadi guru di tahun itu, saya sudah mahasiswa.”  

Iya juga yah? Hahaha. 

Pernah pula ditipu sama seorang ibu yang minta sejumlah uang karena ibunya mau dioperasi, tapi kekurangan biaya sehingga operasi ibunya ditunda. Dia hanya butuh 10.000 rupiah!

Bayangkan, betapa ngelegnya otak saya saat itu. Kira-kira adakah rumah sakit yang menunda operasi pasiennya hanya gara-gara kurang biaya sebanyak Rp.10.000? 

Tidak banyak sebenarnya, hanya pembeli semangkok bakso, tapi bukan faktor jumlahnya melainkan perasaan dibodohi itu yang sakitnya tuh di sini, sambil nunjuk dada, hahaha.

Makanya sekarang setiap ketemu dengan orang yang serupa, tapi tak sama dengan orang-orang si penipu itu, otak saya langsung memberi sinyal WASPADA. Yaah ada baiknya, tapi mungkin ada buruknya juga, karena jiwa kepedulian saya menipis. 

Maafkan saya yah Bu!

Nampaknya ibu memang susah, tapi saya terlalu sering ditipu oleh muka-muka susah seperti ibu. 


Mengapa Banyak yang Mudah Tertipu Seperti Saya? 


Dilansir fimela.com, ada lima sikap seseorang yang membuat dia gampang ditipu, yaitu:

  1. Terlalu percaya pada orang lain.
  2. Kesulitan menolak permintaan orang lain.
  3. Tidak mampu membedakan antara kejujuran dengan kebohongan.
  4. Kurangnya rasa curiga atau kewaspadaan.
  5. Keterlibatan dalam investasi tertentu.

Dari kelima sikap itu, sepertinya dahulu saya memiliki setidaknya tiga sikap di antaranya. Namun, itu dulu. Sekarang insya Allah tidak lagi deh. 

Semoga Allah subhanahu wataala selalu melindungi. Amin.

Kalau kalian, punyakah pengalaman pernah ditipu juga? Bagi ceritanya dong di kolom komentar.


Makassar, 1 Oktober 2024

Dawiah

Read More

Menjadi Generasi Sandwich Tidak Selalu Buruk

Sunday, September 29, 2024

 


Generasi sandwich/www.mardanurdin.com

Generasi Sandwichkah Kamu?

Read More

Tidak Ada yang Kebetulan

Wednesday, September 4, 2024

  

 

 

tidak ada kebetulan- www.mardanurdin.com


 

Sebuah Edisi Muhasabah

 

Hai, September!


Alhamdulillah, kita masih dipertemukan  dan menjadi September ke sekian puluh tahun kita. Kalau orang lain melihat kebersamaan kita, mereka bisa bilang, “tak terasa yah sudah sejauh ini perjalananmu…”

Padahal, rasanya itu, tak bisa dirangkai dengan kata-kata apalagi digambarkan dengan lukisan. 


Ada satu cerita di awal bulan September yang secara tidak sengaja kembali menyadarkan saya, bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang berjalan secara kebetulan. 

 

Ceritanya, hari itu saya memutuskan pulang  dengan berjalan kaki karena sekalian mau singgah belanja di Indomaret.  Siang yang terik seakan melongo melihat kenekadan saya berjalan kaki. 


Hm, jarang-jarang jalan kaki ke sekolah sekalipun jarak rumah dengan sekolah tempat saya mengajar hanya sekitar 400m. Soalnya terlanjur nyaman dimanjakan sama anak, ke sekolah selalu diantar jemput, ini sebelum doi bekerja. Setelah dia bekerja dan tidak ada waktunya menemani saya ke mana pu, barulah terasa. 

 

Baiklah, kita kembali ke cerita.

Setelah beberapa menit berjalan kaki akhirnya saya tiba Indomaret. Ternyata di dalam Indomaret  banyak yang antre di depan kasir dan itu cukup menghalangi pelanggan lain yang mau belanja di rak dekat kasir. 

Saya memutar melewati satu rak untuk mencapai rak lainnya yang menyimpan bahan yang saya butuhkan.  Di ujung rak saya bertemu seorang ibu yang sedikit bersandar di ujung rak, ia mengangguk ramah. Saya pun balas mengangguk.

 

“ibu mau belanja yah?” saya mengangguk, dalam hati, masuk ke sini pasti mau belanjalah, masa mau ngadem. 

“Saya juga mau belanja, tapi sekalian menunggu anak saya yang sedang bertugas.” 

“Iya Bu, anaknya bertugas di mana?” Saya basa basi  demi membalas keramahannya.

“itu Bu yang di kasir. Alhamdulillah, anak saya sudah naik pangkat, dari pelayan menjadi kasir. Lumayan gajinya bu, bisa membantu saya bayar listrik dan beri uang jajan untuk adiknya.” 

 

Si ibu bicara cepat seakan tak mau memberi saya kesempatan bicara. Dia berbicara diselingi dengan senyuman semringah menampakkan kebahagiaan yang tak terkira. Saya ikut bahagia menatap matanya yang berbinar dan saya merasa senyum saya merekah Ikhlas.


“Sebenarnya saya kasihan sekaligus bangga sama anak saya itu Bu, dia lebih memilih bekerja daripada kuliah padahal dia lulus di Universitas Negeri Makassar (UNM). Adiknya lebih membutuhkan biaya agar bisa tamat SMA.” Kembali si ibu bercerita. Sekelabat matanya mengembun.

Entah kenapa hati saya ikut basah. 


“Tidak apa-apa Bu, Setelah adiknya tamat SMA, kakaknya bisa kuliah  nanti.” saya mengelus bahunya.

Si ibu kembali tersenyum, ia mengibaskan tangannya, mungkin berusaha menghalau keresahannya.

 

“Eh, saya jauh-jauh ke sini belanja minyak kelapa karena kata anak saya ada promo, lagi turun harga. Tuh di sana.” Tunjuknya. Si ibu berhasil menghalau resahnya sekaligus mengakhiri obrolan kami.

“Oh iya yah, terima kasih tadi saya melewatinya.”

Si ibu mengangguk, masih dengan matanya yang menyiratkan berbagai makna 

 

Perasaan saya campur aduk.  Tadinya energi yang terkuras karena berjalan kaki menjadi semakin terkuras karena kelelahan, bukan tentang fisik, tapi lebih ke perasaan.

Ada yang berkecamuk dalam jiwa, berbagai pikiran sekaligus penyesalan berseliweran di sana. 


Seakan mengingatkan, betapa kontroversinya keadaan si ibu dan anaknya dengan keadaan saya sendiri sekarang. Si anak  pejuang tangguh untuk keluarga dan ibunya yang bangga dan bersyukur serta selalu mendukung apa pun yang dilakukan oleh anaknya. 

 

Sementara saya yang alhamdulillah sudah melewatinya beberapa tahun kemarin. Putra-putra saya sudah mandiri dan tanggungan keluarga tinggal si bungsu yang  tidak lama lagi menuntaskan kuliahnya, lalu mengapa masih sering mengeluhkan banyak hal yang tidak penting?

 

Sambil antre di kasir, saya mengamati wajah  anak perempuan yang dimaksud si ibu, wajah anak gadisnya. Dia sibuk melayani pembayaran pelanggan dengan senyum yang tak henti-henti. Siapa sangka di balik wajah manis itu tersimpan semangat juang dan pengabdian yang tulus kepada keluarganya.

 

Siang itu,  perasaan saya melompat-lompat dari terharu, sedih, bahagia, menyesal lalu bersyukur. Ternyata begitu mudahnya Allah membolak balikkan hati manusia. Melalui obrolan singkat dengan si ibu yang nampaknya biasa saja, tetapi telah berhasil mengobrak abrik perasaan.

Tentu ini bukan kebetulan, ada skenario-Nya di sana. 

Karena tidak ada sehelai daun pun yang jatuh tanpa izin-Nya.

 

Demikian pula kejadian hari itu.

Saya yang tidak biasa pulang dengan berjalan kaki, tiba-tiba jalan kaki dan singgah di Indomaret. Bertemu dengan seorang ibu yang dengan sabarnya saya mendengarkan ceritanya padahal kita tidak saling kenal. 

Melalui si ibu saya tersadarkan untuk terus bersyukur  atas nikmat Allah yang dianugerahkan kepada saya dan keluarga. 


Hikmah

 

Terkadang kita sibuk menghitung-hitung kekurangan diri atau sibuk membandingkan pencapaian diri dengan orang lain, seakan kebahagiaan kita bergantung pada hal tersebut.

Seperti sikap overthinking saya akhir-akhir ini, mempertanyakan pada diri tentang kegiatan apa yang akan saya lakukan nanti kalau masa pensiun tiba. 

Mereka-reka, apakah kesepian akan menyergap? Masih bisakah berkarya meski tidak lagi menjadi ASN? Masih cukupkah gaji pensiun membiayai rumah tangga? Dan, masih banyak lagi.

 

Pertanyaan itu tak tampak dan tak pernah terucapkan, tetapi sering datang menyelusup diam-diam dalam pendar-pendar sel syaraf di kepala. 

 

Sungguh hal bodoh yang tidak semestinya ada. 

Alih-alih memikirkan hal yang pasti, yaitu kehidupan di akhirat, malah sibuk memikirkan hal-hal sepele yang duniawi. 


Usia semakin senja, seharusnya semakin fokus mempersiapkan diri. 

Saya menjawil jidat sendiri. Maka tidak ada salahnya kalau saya berterima kasih kepada siang yang terik hari itu, berterima kasih kepada si ibu yang tanpa dia sadari telah menghangatkan sanubari saya melalui ceritanya. Bukankah semesta tidak bekerja dengan sendirinya?

 

Terima kasih kepada si gadis manis yang “bercerita” tentang perjuangannya dan menyadarkan, bahwa hidup itu bukan tentang makan, minum saja, melainkan ada tanggung jawab yang harus dipenuhi untuk memenuhi tanggung jawab lainnya yang jauh lebih besar, yaitu mengabdi kepada Allah Azza Wajallah.

 

Bahwa hidup di dunia adalah perjuangan tiada akhir untuk mencapai cita-cita kita yang sesungguhnya, yaitu kemenangan di keabadian. 

Tak perlu silau dengan kehidupan orang lain sebab kita memiliki  kehidupan sendiri dengan kilaunya sendiri. 

Nasihat buat diri yang miskin ilmu ini.

 

“Dunia ini ibarat bayangan. Kejar dia, maka engkau tak akan bisa menangkapnya. Balikkan badanmu darinya, maka ia tak akan punya pilihan lain kecuali mengikutimu.” (Ibnu al-Qayyum).

 

 Makassar, 4 September 2024


Dawiah

 

 

Read More

Menghalau Krisis Eksistensi Diri

Friday, August 23, 2024


menghalau eksistensi diri; www.mardanurdin.com

Lima bulan menjelang masa pensiun tiba, saya diserang berbagai perasaan tidak menentu. Saat teman-teman bercanda tentang Calon Guru Penggerak (CGP) yang diplesetkan menjadi Calon Guru Pensiun, saya tersinggung diam-diam sekalipun tidak menunjukkan perasaan saya itu.

Seorang tamu yang datang ke sekolah mengatakan kalau saya lah yang tertua di antara teman guru lain, saya tersinggung, walaupun pada kenyataannya saya memang yang tertua di antara semua guru, pegawai tata usaha bahkan mbak kantin. 

Lah, saya kan yang akan pensiun beberapa bulan ke depan sementara yang lain masih lama masa itu datang kepada mereka.
Saya merenung, kenapa yah perasaan itu datang? 

Padahal dahulu ketika masih muda atau masih 10 tahunan masa pensiun tiba, hal-hal seperti itu saya anggap candaan dan justru merasa bangga karena saya sudah tergolong guru senior.
Seharusnya saat ini, saya lebih berbangga lagi atau lebih bersyukur karena sudah bisa disebut sebagai  guru super senior sekali (G3S).

Eh, jangan diplesetkan apalagi ditambah menjadi G30S ... yah?
Piss, bercanda.

Lalu kesadaran itu muncul tiba-tiba saat menonton satu film di Netflix yang berjudul "Mrs.Harris Goes to Paris."
Saya tidak akan menceritakan tentang film itu apalagi mereviunya, sebab saya bukan penonton yang baik. Lebih sering meng-skip di beberapa bagian sehingga mungkin ada alur cerita yang saya lewatkan.
Saya hanya fokus pada percakapan Mrs. Harris dengan tetangganya, bahwa ia mungkin mengalami krisis eksistensi setelah dikecewakan oleh orang yang sekian lama ia bantu dengan tulus.

Apakah Krisis Eksistensi Diri?


Krisis eksistensi diri merupakan suatu krisis yang dialami oleh seseorang karena berbagai hal, tetapi paling  sering muncul selama periode transisi, di mana seseorang merasa kesulitan beradaptasi. 
Hal ini biasanya terkait dengan hilangnya rasa keamanan dan kenyamanan sehingga tidak percaya diri akan masa depannya. 

Ciri-Ciri Mengalami Krisis Eksistensi


Salah satu sikap dan sifat yang paling jelas dari orang yang mengalami krisis eksistensi adalah gejala kecemasan lalu berlanjut dengan kurangnya motivasi dalam melakukan banyak hal. Sering merasa sendiri atau merasa dijauhi dan menjauhkan diri dari orang sekitar.
Paling parahnya adalah mengalami depresi.

Penyebab Terjadinya Krisis Eksistensi


Dari berbagai artikel, saya menemukan jawaban beberapa penyebab timbulnya krisis eksistensi diri, yaitu:
  • Terjadinya perubahan karier.
  • Kehilangan pasangan atau orang yang disayangi (anak, saudara, atau sahabat).
  • Didiagnosa menderita penyakit yang parah dan sulit disembuhkan.
  • Memasuki usia 45 tahun ke atas.
  • Mengalami perceraian
  • Mengalami trauma
  • Kehilangan pekerjaan
  • Berhenti tiba-tiba dari rutinitas

Dari penjelasan di atas, muncul pertanyaan dalam hati, mungkinkah saya mengalami hal itu? Karena saat ini saya berada pada masa transisi sebagai guru yang masih aktif dengan guru pensiunan.

Ah, saya harus menghalau krisis eksistensi ini. Bagaimanapun, masa itu akan tiba dan sekali lagi, saya seharusnya bersyukur karena sudah menjalani hidup sejauh ini dengan segala warna warninya.


Apa yang Mesti Saya Lakukan untuk Lepas dari Krisis Eksistensi?


Ada banyak hal yang bisa dilakukan menurut para ahli atau oleh psikiater, misalnya: mengubah sudut pandang tentang, terhubung dengan orang lain, dan perhatikan hal-hal sekitar.

Bagaimana dengan diri saya sendiri? 
Ada tiga hal yang akan saya lakukan.

Pertama

Saya harus melupakan masa lalu, masa keemasan di mana saya masih muda, masih kuat, jarang sakit, kulit masih kencang dan sebagainya.

Kedua

Saya harus fokus pada masa depan dan lebih serius memperhatikan kesehatan, mengurangi begadang yang kata Bang H. Roma,

"Begadang... jangan begadang kalau tiada artinya. Begadang boleh saja kalau ada perlunya." Auto nyanyi deh.
Sedangkan keperluan saya sudah tidak banyak, jadi tidak ada alasan untuk begadang.

Ketiga

Semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt, lebih banyak beristigfar, bersabar dan terutama bersyukur.
Jangan sampai para malaikat marah kepada saya sembari berkata, "Sungguh kamu manusia yang tidak pandai bersyukur atas nikmat-Nya."
Bukankah Allah telah menjanjikan, bahwa jika manusia bersyukur maka Dia akan menambahkan nikmat-Nya.

"Dan, (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku)  maka pasti azab-Ku sangat berat." (QS. Ibrahim:Ayat 7).

 

Penutup

www.mardanurdin.com
Sumber foto: milik pribadi



Sebagai umat muslim, maka petunjuk untuk mendapatkan hati yang tenang dalam kondisi seburuk apa pun itu adalah kembali kepada ajaran Al Qur'an dan Hadist dengan menadaburinya.

"Kitab (Al-Qur'an)yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menadaburi (menghayati) ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran. (QS Shad ayat 29).

Bismillah, tenangkanlah hati saya yah Allah! 
Jauhkanlah saya dan teman-teman seperjuangan, sesama pensiunan dari kufur nikmat. 

Maka, mari halau krisis eksistensi diri dari pikiran dan perasaan kita dengan lebih banyak bersyukur akan nikmat-nikmat yang telah sekian puluhan tahun kita rasakan. Dan, tetap berkarya semampu kita.
"Nikmat Tuhan mana lagikah yg akan kita dustakan?"

Makassar, 23 Agustus 2024

Dawiah
Read More