Menghalau Krisis Eksistensi Diri

Friday, August 23, 2024


menghalau eksistensi diri; www.mardanurdin.com

Lima bulan menjelang masa pensiun tiba, saya diserang berbagai perasaan tidak menentu. Saat teman-teman bercanda tentang Calon Guru Penggerak (CGP) yang diplesetkan menjadi Calon Guru Pensiun, saya tersinggung diam-diam sekalipun tidak menunjukkan perasaan saya itu.

Seorang tamu yang datang ke sekolah mengatakan kalau saya lah yang tertua di antara teman guru lain, saya tersinggung, walaupun pada kenyataannya saya memang yang tertua di antara semua guru, pegawai tata usaha bahkan mbak kantin. 

Lah, saya kan yang akan pensiun beberapa bulan ke depan sementara yang lain masih lama masa itu datang kepada mereka.
Saya merenung, kenapa yah perasaan itu datang? 

Padahal dahulu ketika masih muda atau masih 10 tahunan masa pensiun tiba, hal-hal seperti itu saya anggap candaan dan justru merasa bangga karena saya sudah tergolong guru senior.
Seharusnya saat ini, saya lebih berbangga lagi atau lebih bersyukur karena sudah bisa disebut sebagai  guru super senior sekali (G3S).

Eh, jangan diplesetkan apalagi ditambah menjadi G30S ... yah?
Piss, bercanda.

Lalu kesadaran itu muncul tiba-tiba saat menonton satu film di Netflix yang berjudul "Mrs.Harris Goes to Paris."
Saya tidak akan menceritakan tentang film itu apalagi mereviunya, sebab saya bukan penonton yang baik. Lebih sering meng-skip di beberapa bagian sehingga mungkin ada alur cerita yang saya lewatkan.
Saya hanya fokus pada percakapan Mrs. Harris dengan tetangganya, bahwa ia mungkin mengalami krisis eksistensi setelah dikecewakan oleh orang yang sekian lama ia bantu dengan tulus.

Apakah Krisis Eksistensi Diri?


Krisis eksistensi diri merupakan suatu krisis yang dialami oleh seseorang karena berbagai hal, tetapi paling  sering muncul selama periode transisi, di mana seseorang merasa kesulitan beradaptasi. 
Hal ini biasanya terkait dengan hilangnya rasa keamanan dan kenyamanan sehingga tidak percaya diri akan masa depannya. 

Ciri-Ciri Mengalami Krisis Eksistensi


Salah satu sikap dan sifat yang paling jelas dari orang yang mengalami krisis eksistensi adalah gejala kecemasan lalu berlanjut dengan kurangnya motivasi dalam melakukan banyak hal. Sering merasa sendiri atau merasa dijauhi dan menjauhkan diri dari orang sekitar.
Paling parahnya adalah mengalami depresi.

Penyebab Terjadinya Krisis Eksistensi


Dari berbagai artikel, saya menemukan jawaban beberapa penyebab timbulnya krisis eksistensi diri, yaitu:
  • Terjadinya perubahan karier.
  • Kehilangan pasangan atau orang yang disayangi (anak, saudara, atau sahabat).
  • Didiagnosa menderita penyakit yang parah dan sulit disembuhkan.
  • Memasuki usia 45 tahun ke atas.
  • Mengalami perceraian
  • Mengalami trauma
  • Kehilangan pekerjaan
  • Berhenti tiba-tiba dari rutinitas

Dari penjelasan di atas, muncul pertanyaan dalam hati, mungkinkah saya mengalami hal itu? Karena saat ini saya berada pada masa transisi sebagai guru yang masih aktif dengan guru pensiunan.

Ah, saya harus menghalau krisis eksistensi ini. Bagaimanapun, masa itu akan tiba dan sekali lagi, saya seharusnya bersyukur karena sudah menjalani hidup sejauh ini dengan segala warna warninya.


Apa yang Mesti Saya Lakukan untuk Lepas dari Krisis Eksistensi?


Ada banyak hal yang bisa dilakukan menurut para ahli atau oleh psikiater, misalnya: mengubah sudut pandang tentang, terhubung dengan orang lain, dan perhatikan hal-hal sekitar.

Bagaimana dengan diri saya sendiri? 
Ada tiga hal yang akan saya lakukan.

Pertama

Saya harus melupakan masa lalu, masa keemasan di mana saya masih muda, masih kuat, jarang sakit, kulit masih kencang dan sebagainya.

Kedua

Saya harus fokus pada masa depan dan lebih serius memperhatikan kesehatan, mengurangi begadang yang kata Bang H. Roma,

"Begadang... jangan begadang kalau tiada artinya. Begadang boleh saja kalau ada perlunya." Auto nyanyi deh.
Sedangkan keperluan saya sudah tidak banyak, jadi tidak ada alasan untuk begadang.

Ketiga

Semakin mendekatkan diri kepada Allah Swt, lebih banyak beristigfar, bersabar dan terutama bersyukur.
Jangan sampai para malaikat marah kepada saya sembari berkata, "Sungguh kamu manusia yang tidak pandai bersyukur atas nikmat-Nya."
Bukankah Allah telah menjanjikan, bahwa jika manusia bersyukur maka Dia akan menambahkan nikmat-Nya.

"Dan, (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku)  maka pasti azab-Ku sangat berat." (QS. Ibrahim:Ayat 7).

 

Penutup

www.mardanurdin.com
Sumber foto: milik pribadi



Sebagai umat muslim, maka petunjuk untuk mendapatkan hati yang tenang dalam kondisi seburuk apa pun itu adalah kembali kepada ajaran Al Qur'an dan Hadist dengan menadaburinya.

"Kitab (Al-Qur'an)yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menadaburi (menghayati) ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran. (QS Shad ayat 29).

Bismillah, tenangkanlah hati saya yah Allah! 
Jauhkanlah saya dan teman-teman seperjuangan, sesama pensiunan dari kufur nikmat. 

Maka, mari halau krisis eksistensi diri dari pikiran dan perasaan kita dengan lebih banyak bersyukur akan nikmat-nikmat yang telah sekian puluhan tahun kita rasakan. Dan, tetap berkarya semampu kita.
"Nikmat Tuhan mana lagikah yg akan kita dustakan?"

Makassar, 23 Agustus 2024

Dawiah

33 comments

  1. Ternyata ada banyak hal ya yang menyebabkan krisis eksistensi diri. Kalau saya adalah tipe yang sulit melupakan masa lalu dan saya butuh waktu yang lama untuk bisa melupakan masa lalu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mirip seperti saya itu. Memaafkan saya juga merasa mudah, bisa saja ya, tapi kalau untuk meluluhkan, saya mah ga bisa. Apalagi hal yg paling menyakitkan, biarlah saya anggap gak ada lagi dll...

      Delete
  2. Aamiin Ya Allah... Ternyata tiap fase usia ada tantangannya masing-masing ya, Bu. Kalau dulu di usia 20an mengalami quarter life crisis. Menjelang pensiun pun juga merasakan yang semacam itu ya.

    ReplyDelete
  3. krisis eksistensi tuh biasanya melanda mulai usia 40an ya mba, aku juga nih, mulai mempertanyakan masa depan dan mengenang masa lalu hahhaaa

    ReplyDelete
  4. Aamiin ya Allah...ternyata tiap fase usia ada tantangannya tersendiri. Dulu saat usia 20an mengalami quarter life crisis. Ternyata menjelanah usia pensiun juga mengalami hal semacam itu

    ReplyDelete
  5. Ketika mengalami krisis eksistensi diri harus punya support sistem yang jadi pegangan untuk makin semangat. Faktor penyebab eksistensi diri ini banyak. Bersyukur bagi saya kunci utama untuk bahagia dan buang rasa khawatir

    ReplyDelete
  6. Sebelum komen aku tandain dulu judulnya nih biar bisa aku tonton juag di Netflix:)
    Banyak juga penyebab krisis eksitensi ya, Insya Allah bisa menbghadapinya ya mbak ikut mendoakan. Betul banget dokus di masa depan dan tetap sehat sambil beraktivitas setelah pensiun nanti

    ReplyDelete
  7. Terima kasih sharing pengalamannya mba..wah sepertinya saya juga mesti siap2 agar tak terjadi krisis eksistensi diri ini ketika masa pensiun nanti datang..

    ReplyDelete
  8. Semangat Bu, menyongsong MPP dan mengoptimalkan masa aktif sebagai guru yang masih beberapa bulan lagi.
    Semoga lebih tenang ya Bu, setelah memperoleh pengetahuan tentang krisi eksistensi diri dan bagaimana mengatasinya

    ReplyDelete
  9. Semangat selalu Bu Dawiah.
    Pastinya tiap orang punya krisis eksistensi masing² ya. Tinggal meramu dan menghadapinya memang yang butuh treatment khusus

    ReplyDelete
  10. Semangat selalu Bu...
    Tetap produktif dan bermanfaat untuk sesama pastinya dengan semua ilmu dan pengalamannya ya...

    Menginspirasi banget nih. Saya juga udah mau memilih bagaimana menghadapi masa istirahat dari aktivitas.
    Semoga saja sesuai keinginan ya. Aamiin...

    ReplyDelete
  11. Ngeri banget ya kalau Krisis eksistensi diri tidak dipahami lalu dibiarkan, karena banyak juga yang mengalami tapi belum memahami bahwa itu butuh bantuan untuk diselesaikan. Setiap orang bisa mengalami Krisis eksistensi diri , mungkin saya pun pernah ditahap itu. Tetap semangat dan menyadari untuk keluar dari Krisis eksistensi diri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya setuju, penyadaran diri ini kudu bener² paham, agar gak mengalami krisis ataupun depresi diri. Serta jangan lupakan Allah SWT dan tetap bersama keluarga

      Delete
  12. Mba, makasih banget yya remindernya kadang kita hanya meratapi masa lalu dan hal-hal yang tidak mengenakan sampai insecure huhuhu. Jadi memang harus banyak-banyak bersyukur ya dan menerima semua takdir. Semangat selalu ya mba.

    ReplyDelete
  13. Ternyata ada yang namanya krisis eksistensi diri. Almarhum bapak dulu meskipun sudah pensiun tetap aktif banyak kegiatan, mungkin biar ga kena krisis eksistensi diri juga kali ya..karena ada perubahan rutinitas yang biasanya sibuk bekerja, terus pensiun.

    ReplyDelete
  14. Aamiin, semoga bisa dilewati dengan baik. Papaku dulu pas MPP juga galau, mungkin bisa mulai cari hobi baru ya Bu...

    ReplyDelete
  15. Bisa jadi aku pun kini sedang mengalami krisis eksistensi diri. Maunya mulai detik ini bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan semakin mendekatkan diri kepada Allah :) Mbak Dawiah semoga sehat selalu ya jangan terlalu banyak pikiran hihihi... Tetap bisa berkegiatan positif selama badan sehat dan kuat, hati bahagia dan keluarga mendukung semua aamiin.

    ReplyDelete
  16. Aku melihat kejadian kayak gini pada beberapa orang di keluargaku, mbak.. Bude Pakde yang baru pensiun. Bahkan ada yang sampe stress. Mungkin karena sebelumnya sibuk bekerja, tau-tau harus diem di rumah. Akhirnya disaranin untuk cari kesibukan atau hobi baru. Alhamdulillah sekarang bisa sibuk ngurus tanaman dan ayam2 peliharaan di rumah

    ReplyDelete
  17. Alhamdulillah saya bisa melewati masa2 transisi ini bu, meskipun memang tidak mudah. Saya tidak pensiun karena bekerja di sektor swasta, hanya saja perusahaan terkena terpaan badai ekonomi sehingga saya harus berhenti.

    Awal2 di rumah terasa bahagia sekali, bisa antar jemput anak sekolah. Bertahun2 saya memasrahkan anak2 saya pada orang lain untuk berangkat dan pulang sekolah. Bisa menyiapkan kebutuhannya secara langsung, waahh...sesuatu yang luar biasa nikmatnya. Namun tidak akan saya sangkal, terkadang muncul rasa kangen berangkat ke kantor dan ketemu teman2. Kangen ramenya aja sih, enggak kangen dengan pekerjaannya. :))

    ReplyDelete
  18. Mungki perasaan ini kurang lebih sama kayak yang dialami alm papah dan mamah saya. Kalau papah saya sempat pulang kampung lumayan lama. Kemudian balik lagi ke rumah. sedangkan mamah saya menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan sama ibu-ibu komplek

    ReplyDelete
  19. Mba, peluk virtual. Baca ini auto rembes air mata ku. Sisi lain aku merasa seperti mendapat banyak pencerahan. Jadi, akhir Juli lalu aku kena Lay off dari perusahaan yang memang sudah diambang kebangkrutan. Sempat merasa down dan Krisis eksistensi diri, namun saya harus kembali bangkit dan menata jalan selanjutnya.

    Melalui artikel mba, aku merasa kembali diajak dan diingatkan but melalui ini dengan penuh penerimaan dan berjuang lagi 😇

    ReplyDelete
  20. Sekarang aku lagi merasakan khawatir mengalami krisis yang nomor 2. Usia jelang 50, udah banyak yang dipanggil. Sedangkan anak-anak masih sekolah. Kalau yang no 1 sih udah lama kurasakan karena resign setelah nikah, jadi udah biasa.

    ReplyDelete
  21. Banyak yang ngalami krisis seperti ini dan biasanya memang menjelang usia 50 tahunan atau mendekati masa pensiun atau sesudah masa pensiun. Kalo saya dulu mendekati usia awal 40 tahunan justru semangat ingin memulai hal baru. Saya bahkan udah mempersiapkan pensiun dini dari perusahaan, pengen usaha sendiri. Bahagia setelah bisa mewujudkan impian ini karena jadi punya waktu lebih banyak untuk diri sendiri, keluarga, teman terdekat satu circle.

    Semoga dirimu pun bisa lebih optimis menyambut pensiun ya mbak. Pokoknya keep positive thinking agar tetap semangat dan terus berkarya di luar institusi

    ReplyDelete
  22. Terbayang rasanya sedih meninggalkan dunia yg sudah kita tekuni puluhan tahun ya bu tapi bismilah insyaallH semua ada hikmahnya. Ada masa yg sudah berlalu ada masa yg akan datang insyaallah bisa menikmati hari di rumah bersma suami dan anak2 semangat ya bu. Moga2nanti ketika masa itu datang saya bisa semangat dan bersyukur seperti ibu :)

    ReplyDelete
  23. Perasaan cemas dan khawatir pasti ada ya, Mbak. Semoga nantinya bisa lebih produktif ke hal lain setelah purna tugas. Mungkin bisa mengajar di tempat lain atau bisa bikin tempat belajar mengajar sendiri.

    ReplyDelete
  24. Banyak perasaan tidak nyaman dalam hidup yaa, Bunda.
    Rasanya kudu banget menata kembali hati dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Memang gak mudah dan butuh kebiasaan baru. Semoga pada saatnya nanti, semua bisa kembali baik dan kembali menikmati hidup.

    ReplyDelete
  25. Mak, akupun pernah loh di posisi yang dikit2 tersinggung, merasa cemas, ngerasa nggak ada yang peduli dan jenuh. Sempat uring2an sendiri, tapi lama2 yaudah, semua pasti berlalu. Kita pasti bisa melewatinya. Dan mendekatkan diri pada Allah emang yang terbaik 😍

    ReplyDelete
  26. Baguuus isi tulisannya mba dawiah 👍👍🩷🩷. Pengingat juga buatku yg kdg kuatir krn usia semakin bertambah. Ngerasa galau krn waktu kok ya cepet banget berlalu, tau2 usia udh naik lagi. Yg begini bener2 bikin rasa percaya diri kadang drop krn merasa sudah tua.

    Padahal itu hanya angka.. Tergantung kita bagaimana menghadapi masa2 maturity kan 🤗. Bersyukur pastinya yg utama. Ga semua orang bisa mencapai usia panjang umur. Pensiun pun, bukan berarti kerjaan kita juga hilang samasekali. Aku juga hrs mikirin apa yg bakal aku lakuin utk mengisi waktu di saat nanti pensiun

    ReplyDelete
  27. Hari cepat berlalu ya bu, mau tak mau kita harus tetap move on. Selalu bergerak maju, beradaptasi, dan menghadapi masa depan dengan sepenuh hati.

    ReplyDelete
  28. Saya jadi ingat, di awal rumah tangga mengalami krisis eksistensi diri. Peralihan dari gadis yang selalu dibangga-banggakan keluarga besar karena rupa (maaf bukan geer ya Kak, hehe kata keluarga sih), karena prestasi sekolah, dan sebagainya.

    Di dalam rumah sendiri sebagai anak sulung yang selalu jadi patokan, kebanggaan ortu, dan kalua kumpul di keluarga besar, selalu jadi pusat perhatian.

    Namun, berbeda saat berumah tangga. Orang lain tidak menilai kita dari rupa atau prestasi sekolah. Mereka menilai kita dari kemampuan adaptasi, sikap, peran penting untuk mereka, dan bahkan status sosial keluarga.

    Jujur, kesulitan adaptasi membuat saya kehilangan semangat hidup. Ditambah lagi, peran saya yang Waktu itu hanya ibu rumah tangga tulen. Otomatis sikap keluarga adalah poros Utama dalam perasaan saya.

    Seolah diri ini tidak memiliki nilai penting. Semua keunggulan saya di tengah keluarga besar saya dulu yang notabene orang desa dengan taraf ekonomi menenengah ke bawah itu tidak ada artinya lagi.

    Di keluarga lain, saya bukan apa-apa. Sering orang lain mengobrol tanpa memandang saya, bahkan tanpa menganggap saya ada. Bebepara anggota keluarga kadang menanyakan suatu hal ke orang lain yang sebenarnya jawabannya ada di lisan saya yang duduk di depan mereka. Misalnya, "Anak ini (anak saya) udah makan belum ya?" Jelas sekali saya di "skip" dari radar, haha. Jelas saya lah yang lebih tahu jawabannya.

    Akhirnya, saya mencari jati diri dengan susah payah, bertahun-tahun. Salah satunya membangun karir meskipun berupa freelance. Saya harus punya sesuatu yang bisa saya banggakan. Di samping, saya juga lebih menyadari bahwa pendapat dan sikap manusia itu memang sangat tidak bisa kita kendalikan. Dari pengalaman itu, saya lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Itu juga membuat saya lebih dewasa.

    Semoga di episode kehidupan selanjutnya, saya juga bisa lebih dewasa dan meminimalisir krisis eksistensi diri.

    ReplyDelete
  29. Saya memang melihat beberapa orang yang hendak "berhenti dari rutinitas kerjaannya" akan mengalami perasaan kehilangan kak. Tapi gak menyangka bisa terjadi krisis eksistensi diri seperti ini. Btw kakak ipar saya juga akan memasuki masa pensiun. Beliau terlihat lebih sering menghabiskan masa cuti dengan relaks jalan-jalan. Mungkin beliau ingin mengalihkan perasaan "galau" karena akan kehilangan rutinitas hariannya. Apalagi sebagai asn setiap pagi berjibaku dengan jadwal absensi pagi bila tidak ingin telat.

    ReplyDelete
  30. Apakah saya sendiri termasuk mengurangi eksistensi di dunia maya? Hmmm..

    Ngomongin soal candaan, agaknya dua mata pisau ya Bu...disatu sisi gak semua orang bisa kita simpulkan satu sifatnya....maka dari itu harus pandai pandai mengolah kata dimanapun tempat nya

    ReplyDelete
  31. Jangan-jangan saya juga mengalami nih karena baru saja berhenti bekerja. Bagaimanapun juga saat ini pekerjaan atau karir dianggap penting oleh sebagian besar orang ya Bun.Tetap semangat bun, saya juga sedang belajar untuk menghalau krisis eksistensi

    ReplyDelete