Konro Dalam Kenangan -
Siang terik, Juli 1985, saya baru saja keluar dari ruangan Pak Syata, bendahara sekolah untuk bertanda tangan sekaligus mengambil honor mengajar dan saat itu Ibu Nurbaya rekan mengajar dan sahabat saya menyambut dengan senyum semringahnya sembari menagih janji.
“Traktir …traktir…traktir…” serunya.
Secepatnya saya menggamit lengannya dan berbisik.
“Jangan ribut, saya akan penuhi janji, tetapi jangan bilang-bilang. Kalau semua teman tahu, bisa habis honor saya sebulan untuk traktir mereka.”
Ibu Nurbaya terkekeh dan mengangguk maklum.
Pertama Kali Makan Konro di Warung Konro Karebosi
Siang yang terik itu semakin menyengat rasanya saat kami menyusuri jalan raya menuju Jl. Gunung Lompobattang di lokasi warung konro Karebosi.
Yap, sesuai janji saya, saya akan mentraktir sahabat saya itu makan konro.
Tak lama, kami pun tiba di warung konro legendaris itu lalu dua piring konro terhidang di atas meja. Warung ini direkomendasikan oleh Ibu Nurbaya, warung konro yang sangat terkenal di Makassar, saya tahu namanya, tetapi belum pernah sekalipun saya ke warung itu.
Konro memang makanan khas Makassar, tetapi tidak semua warga Makassar dapat dengan mudah menyantapnya dikarenakan harganya yang cukup mahal terutama untuk mahasiswa dan guru honorer seperti saya.
Usai menyantap sop konro yang nikmatnya bikin lupa kalau amplop gaji saya perlahan menipis, kami pun beranjak dari tempat duduk.
“Nda mauki bawakanki juga konro untuk orang tuata?”
Pertanyaan sahabat saya itu menyadarkan saya kalau bapak dan mama juga belum pernah mencicipi konro seenak Konro Karebosi. Maka saya pun memesan satu porsi untuk saya bawa pulang.
Kembali motor melaju pelan dengan perut kenyang, tetapi amplop honor semakin sekarat. Tak apalah, setidaknya saya sudah menikmati masakan khas Makassar yang terkenal enak itu.
Tiba di rumah, saya bercerita kepada bapak dan mama, betapa enaknya makan konro karebosi sembari memberikan bungkusan konro kepada mereka. Perasaan saya semakin melambung manakala melihat bapak dan mama menyantap konro itu dengan nikmatnya.
Usai makan, bapak menitip pesan.
“Janganmi sering-sering makan di warung Nak dan janganmi pula bungkuskan kami, nanti honormu habis.”
Ah, bapakku sayang, jadi sedih rasanya mengenang masa itu.
Praktik Bikin Konro
Oktober 1993, saya membawa kabar gembira untuk mama. Surat Keputusan pindah dari desa di Balocci ke Kota Makassar telah terbit. Sepucuk amplop coklat yang berisi SK pindah, saya perlihatkan kepada mama.
Mama tertawa gembira, itu artinya saya resmi mendampingi dan membantu beliau mengasuh dan mendidik anak-anaknya, adik-adik saya.
Keputusan pindah ke kota sudah lama saya perjuangkan dengan membujuk suami agar mau ikut pindah. Waktu itu, suami sangat enggan pindah karena merasa sudah nyaman tinggal di desa yang sejuk itu.
Namun, kepergian bapak untuk selamanya semakin memantapkan hati saya untuk meninggalkan desa tempat pertemuan pertama saya dengan suami.
Memasuki awal semester genap, saya ditawari lagi mengajar di tempat saya pertama kali honor tujuh tahun lalu tanpa meninggalkan tugas utama saya di sekolah negeri.
Tawaran yang bagus dan sayang untuk dilewatkan maka Januari 1994 saya resmi kembali mengajar di sekolah yang penuh kenangan itu, SMP Muhammadiyah 3 Bontoala, tempat saya menamatkan sekolah menengah pertama (SMP) dan tempat saya aktif berorganisasi di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM).
Seperti yang pernah saya ceritakan pada postingan sebelumnya tentang Kue Donat Kentang, bahwa di SMP Muhammadiyah 3 itu ada ibu Sa’ddiah yang rajin membagikan resep kepada guru-guru tak terkecuali saya.
Salah satu resep yang saya catat dengan rapi adalah resep konro karena saya berniat mempraktikkannya bersama mama.
Tibalah hari yang ditunggu-tunggu. Saya dan mama sibuk menghitung perkiraan biaya untuk mempraktikkan resep dari ibu Sa’ddiah, sop konro.
Sepertinya tidak cukup kalau hanya menyiapkan 1 kg iga sapi, maka diperkirakanlah sekitar 5 kg iga sapi agar semua penghuni rumah bisa menikmatinya. Lalu rempah-rempah juga dihitung plus printilannya.
Ternyata biayanya tidak main-main, mahal sekali untuk ukuran guru seperti saya, wkwkwk. Pantas harga sepiring konro di warung Konro Karebosi senilai seperdua honor mengajar saya sebulan.
Setelah dihitung dan ditimbang-timbang maka diputuskanlah kalau praktik bikin konronya ditunda, tunggu dua kali gajian, hahaha.
Akhirnya kami berhasil mempraktikkan resep warisan bu Sa’ddiah setelah dua tahun masa penundaan. Lama juga yah ternyata…wkwkwk.
Kata mama.
“Dua taungpi mutaro-taro duimu di, nappaki wedding makkebu iye konroe. Masuli ladde bela…”
“Dua tahun kamu menabung yah baru bisa mempraktikkan ini konro, karena terlalu mahal.”
Begitulah kenangan saya tentang masakan khas Makassar ini. Insyaallah pada postingan berikutnya akan saya bagikan resep konro versi ibu Sa’ddiah dan versi mama. Perbedaan resepnya cukup signifikan, tetapi tetap sama lezatnya.
Makassar, Senin 27 November 2023
Dawiah
Belum pernah makan konro nih bun. Kalo coto makassar udah pernah. Konro kan kuah hitam kayak rawon tapi rasanya apa kayak rawon ya? Penasaran jadinya. Ditunggu resepnya ya π
ReplyDeleteMemang luar biasa harganya iga konro tuh ya bu. Aku pernah coba, pas di depan kasir berasa disamber sama petir, hahaha. Meski begitu aku ga menyesal, soalnya memang sebanding dengan rasanya juga kok. Apalagi kalau dagingnya tebal, empuk, dan ada bagian yang berlemaknya. Aisssh surgawi sekali rasanya.
ReplyDeleteKebetulan aku kan jualan daging juga, jadi lumayan tau harga-harga iga sapi. Kalau di Jakarta sini, rata-rata pedagang mengakali bahan baku supaya tak terlalu mahal. Biasanya iga sapi diganti jadi tulang leher, yang harganya hanya seperempatnya iga sapi. Lumayan juga sih saving cost-nya, tapi dari segi rasa juga jadi berubah.
Luar biasa sekali perjuangannya agar bisa masak sop konro, sampai 2 tahun penantian. Yang terlintas di benak saya adalah ini pasti menarik kalo dibuat film pendek haha
ReplyDeleteCocoknya kalau mau coba buat konro ini berarti waktu musim haji ya karena biasanya dapat daging kurban atau daging kurban lebih murah karena melimpah, BTW biasanya berapa budget kalau kita beli di tempat konro ini? Jadi penasaran
ReplyDeletePernah 2x ke makasar tp belum coba yg ini, padahal namanya sering kuliat jd rekomendasi. Yg uda pernah baru coto, sop ubi, pallubasa. Masih penasaran sm mie titi, sop konro dan gogoso
ReplyDeleteWahh kirain sekalian dibagiin di tulisan ini resep konronyaa. Spesial sekali pastinya, karena harus menunggu sekian tahun lamanya untuk membeli bahan2nya yang mahal.
ReplyDeleteSop konro memang hidangan istimewa dari Makassar Siapa nama cicipi sop konro Karebosi di Makassar dan di Jakarta lucunya adalah rasanya sama aja berarti yang di Jakarta bisa menduplikasi rasa dari cabang aslinya di Makassar dan memang harganya lebih tinggi dibanding masakan lain karena cara masaknya istimewa dan bahan-bahan yang spesial juga
ReplyDeleteMasya Allah, seneng banget rasanya membayangkan mbak bawa pulang Sop Konro dari Warung Konro Karebosi
ReplyDeleteYang super terkenal rasanya enak, sungguh indah sekali, selalu teringat saat aku gajian pertama pasti aku pun membelikan makanan enak buat Mama dan Bapak serta adik-adik, rasanya lebih bahagia kalau bisa makan bareng-bareng dirumah.
Resep Sop Konro dari Ibu guru Sa’ddiah sangat berkesan dan bermanfaat juga ya, jadi ladang pahala buat beliau pasti nya.
Ya ampuuun mbaaa, konro itu juga makanan fav sayaa πππ. Tapi bersyukur di JKT ada banyak penjual masakan Makasar, termasuk Karebosi, maranu, pun ada.
ReplyDeleteTapi saya blm PD utk bikin sendiri. Soalnya tahu bahannya ga murah, dan njelimeeet. Kalo sampe gagal, rugi bandaaar π€£π€£ . Makanya masih mutusin beli aja kalo kangen konroπ
Iyaa konro enak sekali Bun tapi memang mahal di' aku ingat pernah berapa kali diajak makan konro bapakku di Karebosi pas pulang sekolah waktu SMP, kan sekolahku dulu di SMP 3 depan Karebosi
ReplyDeleteSop konro juara banget yaa, Bunda.
ReplyDeleteTerbayang kehangatannya karena kini sudah mulai sering hujan di Bandung. Tapi aku rasa, konro terenak ketika dihidangkan asli dari pemilik kuliner ini siih..
Kalau di Bandung makan konro, asa kurang greget ama bumbunya.
mengingatkan saya juga pertama kalinya juga saat ke Makassar dibawa teman makan Konro, enak banget, porsnya juga gede banget, ampe lama makannya supaya habis. Penasaran pengen cobain di rumah bikin tapi rasanya udah pasti beda ya buatan sendiri sama buatan asli orang sana, jadi pengen ke Makassar lagi buat makan konro
ReplyDelete