Cerita Ramadan Pada 1 Ramadan 1444 H
Beberapa hari sebelum memasuki bulan Ramadan, ibu-ibu jamaah masjid di daerahku mulai sibuk mempertanyakan, “kapan puasa?”
Sebagai kaum “minoritas” di lingkunganku di mana tanggal penentuan 1 Ramadan atau lebaran Idul Fitri dan Idul Adha kadang berbeda dengan mereka, pertanyaan seperti itu sudah biasa.
Penentuan 1 Ramadan, Idul Fitri dan Idul Adha secara umum di Indonesia mengikuti hasil sidang isbat oleh pemerintah yang selalu disiarkan secara langsung melalui media televisi, sedangkan saya sekeluarga sejak bergabung di organisasi Muhammadiyah mengikuti jadwal yang diedarkan oleh persyarikatan, yaitu perhitungan penentuan tanggal ketiga peristiwa saklar bagi umat muslim itu berdasarkan perhitungan Hisab.
Jangan ditanya apa alasannya apalagi mengajak berdebat, sebab terlalu panjang penjelasannya dan saya tidak berkompeten di bidang itu. Kita jalankan saja sesuai keyakinan kita masing-masing. Toh, nanti di akhirat kita akan mempertanggungjawabkan pilihan kita masing-masing kan?
Namun, di masjid dekat rumah saya di mana tempat saya dan keluarga salat berjamaah, sering merasa terintimidasi oleh beberapa oknum ustaz yang berceramah.
Ustaz itu kadang menyinggung-nyinggung soal persyarikatan Muhammadiyah maupun ormas lain yang tidak sependapat dengan mereka, baik secara tidak langsung maupun secara langsung dan terang-terangan.
Untungnya, jamaah pada umumnya tidak memedulikan ucapan ustaz tersebut dan bersikap biasa-biasa saja karenanya saya bersikap acuh tak acuh juga atas ucapan para ustaz itu. Walau kadang sedih melihat fenomena ini sebab inilah salah satu kelemahan Islam di Indonesia.
Nampak sangat besar dan kuat, tetapi sebenarnya sangat lemah dan cenderung mudah diadu domba.
Baiklah, mari tinggalkan perkara itu, kita fokus saja pada semaraknya menyambut bulan Ramadan 1444 H yang bertepatan pada 23-3-2023 M. Hal ini tergambar jelas dengan melimpah ruahnya jamaah masjid yang akan melaksankan salat tarawih pertama.
Ada hal atau kejadian yang selalu berulang pada setiap Ramadan sejak dulu kala di masjidku, yaitu penitipan tempat di dalam masjid wkwkwk, tetapi ini khusus berlaku di area jamaah muslimah.
Beberapa jamaah perempuan selalu menyimpan sajadahnya di barisan depan untuk menandai bahwa itu adalah tempatnya. Kalau datang tepat waktu sih tidak masalah, yang bermasalah adalah jika yang punya sajadah telat datang.
Biasanya jamaah yang paham soal titip menitip sajadah itu akan menyimpan sajadahnya di belakang lalu mengisi sajadah titipan yang orangnya belum datang itu jika salat berjamaah sudah mau dilaksanakan, selanjutnya orang yang di bagian belakang akan mengisi sajadahnya, demikian seterusnya.
Setelah selesai salat berjamaah, masing-masing kembali ke posisi yang sebenarnya hingga pemilik sajadah titipan datang.
Tetapi tenang saja, keadaan seperti ini hanya berlangsung selama kurang lebih sepuluh hari. Setelahnya, masjid kembali lowong. Sebagian jamaahnya sudah pindah ke pusat-pusat belanja untuk persiapan lebaran. Hahaha.
Aktivitas Pada Hari Pertama Ramadan
Sudah memasuki tahun kelima saya menjalani Ramadan dengan keluarga yang tidak lengkap. Dua anakku sudah tidak serumah kami lagi. Mereka sudah memiliki keluarga sendiri dan tinggal di luar daerah.
Namun, ada kebiasaan yang belum bisa saya ubah dari tahun ke tahun, yaitu selalu sibuk menyiapkan makanan yang banyak seakan-akan semua anak-anakku dan keluarganya kumpul untuk menjalani sahur pertama.
Ramadan kali ini pun demikian. Saya sibuk memasak kari ayam kampung kesukaan suami dan anak-anak sebagai menu sahur hari pertama. Satu panci penuh kari ayam sudah tersedia padahal yang akan makan sahur pertama masih formasi seperti tahun lalu, hanya berlima.
Seperti yang diprediksi Nabila, kari ayam yang saya masak sepenuh hati itu tidak habis bahkan sisanya masih banyak.
Persiapan berbuka puasa juga demikian. Hampir seharian di dapur memasak untuk persiapan buka puasa. Kali ini saya memasak Kambu Paria. Tadinya saya mau pasangkan dengan udang asam manis, tetapi lagi-lagi Nabila menegur.
“Terlalu banyak lauk Mama, kari ayam saja yang dipanasi, tuh masih banyak di kulkas dan masih bisa dimakan.”
Kali ini saya nurut, tetapi tetap memasak ikan Pallu Kacci pesanan ayangbeb. Memasak Pallu Kacci tidak memerlukan waktu lama, cukup menggunakan air asam, taburi kunyit kering dan garam lalu masak dengan api kecil.
Yang paling penting sebenarnya, masakan itu adalah kesukaan saya dan suami.
Sedangkan memasak kambu paria buat saya memerlukan effort yang lumayan tinggi. Tahapannya banyak dan cukup ribet. Harus sangrai kelapa parut, tumbuk ikan, masak paria hingga setengah matang dan seterusnya.
Kalau tidak percaya seribet itu cara masaknya, kalian baca saja Cara Memasak Kambu Paria dengan mengklik link di bawah ini
Kambu Paria, Masakan Peria Khas Makassar
Tadinya saya pikir kami akan berbuka puasa berlima, tetapi ternyata hanya bertiga. Nabila masih berhalangan puasa sedangkan Ami sudah punya rencana berbuka puasa keliling masjid di Makassar, saya lupa dengan rencananya itu padahal sudah diberi tahu jauh sebelum Ramadan tiba.
Alhamdulillah, buka puasa bertiga masih mendinglah daripada berbuka puasa sendirian. Iya kan? Mari bersyukur atas apa pun yang diberikan oleh Allah Swt, sahur dan berbuka puasa sendirian pun tidak akan mengurangi kesyahduan Ramadan.
Demikian cerita Ramadan saya kali ini.
Bismillah, tulisan ini saya ikutkan dalam Ramadan Blog Challenge Blogger Perempuan kategori lifestyle. Berhubung informasinya telat saya lihat, maka barulah pada hari kedua saya posting tulisan ini.
Makassar, 2 Ramadan 1444 H/24 Maret 2023
Dawiah
Duluuuu sering banget nemuin yg suka titip sajadah ini, tapi datangnya telat 🤣. Dan biasanya dia pun tak akan bisa masuk lagi ke barisan Krn ga mukim shaf jadi lowong hara2 nungguin dia kan.
ReplyDeleteAku kangen terkadang buka puasa rame dengan kluarga mba. Skr ini pun ga pernah lagi seperti itu, suami juga lebih sering buka puasa di kantor, Krn jam pulangnya yg ga mungkin mampir ke rumah 😅.jadi paling sering ya buka bertiga Ama anak2