Insyaallah, besok sekolah
tempat saya bertugas sudah bisa melakukan pembelajaran tatap muka (PTM). Segala
persiapan baik secara teknis maupun non teknis sudah diupayakan sedemikain rupa
agar proses PTM berjalan lancar. Mulai dari teknis pengaturan siswa saat
memasuki lingkungan sekolah, pengaturan jadwal mengajar serta pengaturan
kehadiran siswa yang disesuaikan dengan protokol kesehatan.
Beberapa sekolah di kota
saya sudah sepekan melakukan PTM, yaitu sekolah-sekolah yang dinyatakan telah
memenuhi syarat untuk PTM pada tahap pertama. Alhamdulillah sekolah
saya masuk pada tahap kedua.
Namun, bukan cerita itu
yang ingin saya kisahkan dalam postingan saya kali ini, melainkan cerita-cerita
yang mewarnai perjalanan saya selama
proses pembelajaran jarak jauh berlangsung.
Bagaimana kisahnya?
Teruskan membacanya ya.
Ketika Pembelajaran
Jarak Jauh Menjadi Solusi
Pembelajaran online,
pembelajaran daring, pembelajaran jarak jauh (PJJ) hingga Belajar Dari Rumah (BDR) adalah
istiilah-istilah yang akrab di telinga kita selama kurun waktu 1 tahun 8 bulan
ini.
Masih hangat dalam
ingatan ketika pertama kalinya saya mengabarkan kepada siswa tentang belajar di
rumah selama 14 hari. Mereka bersorak gembira.
Jujur, saat itu sayapun
sedikit gembira. Pikirku, bisa leha-leha nih di rumah.
Lalu berbagai rencana
otomatis tersusun dalam otak saya. Menulis lanjutan naskah
yang sudah lama terlupakan, menggunting dan menjahit baju, taplak meja atau gorden,
juga mau membaca buku yang sudah lama bertengger manis dalam rak buku serta
masih banyak lagi rencana-rencana dalam pikiran saya.
Namun, apa yang terjadi?
Jauh api dari panggang,
heuuu.
Ternyata 14 hari di rumah
itu, para guru malah makin sibuk dengan urusan belajar mengajar. Mesti
menyiapkan bahan ajar, mengolah materi pembelajaran yang biasanya dijelaskan
langsung di depan siswa menjadi materi yang bisa diajarkan secara online. Dan itu
tak semudah menjetikkan jemari loh.
Para guru “kaget” dengan
keadaan yang tiba-tiba berubah drastis itu. Terutama yang belum akrab dengan teknologi digital. Kita tahulah, saat itu masih ada guru yang termasuk kategori gagap
teknologi. Ada yang hanya menggunakan media sosial untuk nulis status di
facebook, ada pula yang hanya lincah meneruskan tulisan orang lain di WAG sekalipun itu tulisan atau gambar atau apapun itu yang sudah sekian ratus kali diteruskan.
Bahkan ada guru yang
tiba-tiba mengubah dirinya menjadi artis.
Heuu, itu saya, hahaha, tetapi saya gagal.
Baca saja kisahnya dengan mengklik → Gagal Jadi Artis.
Namun, manusia itu adalah
makhluk hidup yang dianugerahi oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling jago
beradaptasi.
Tidak perlu waktu lama, dengan cepat para guru beradaptasi dengan keadaan. Lalu akhirnya para guru
menjadi akrab dengan berbagai aplikasi yang bisa digunakan untuk mengajar
online. Mulai dari classroom, zoom, google meet dan sebagainya.
Aplikasi WhatsApp adalah
aplikasi yang paling sering digunakan, karena disanalah terciptanya “kelas”
berupa grup-grup WA. Saya yang mengajar lima kelas saat itu otomatis punya 5 grup
kelas ditambah grup khusus orang tua dan grup khusus wali kelas.
Sejak saat itu,
notifikasi di gawai saya “bernyanyi” setiap saat. Tidak pagi, siang maupun
malam, gawai saya sibuk sekali. Siswa-siswa saya “rajin
sekali”, mulai dari mengisi list sebagai tanda kehadirannya atau mengirim tugas
berupa gambar, mengirim fotonya saat belajar hingga mengirim video.
Rasanya menyesal juga
minta mereka mengirim fotonya apalagi saya sok-sokan meminta video tugasnya. Pasalnya
gawai saya “berteriak” karena memorinya penuh, ha-ha-ha.
Namun, itulah
konsekuensinya.
Apakah berjalan mulus? Tidak semuanya, karena
beberapa kali terjadi insiden. Kok, masih bisa terjadi
insiden sih, kan tidak ketemu fisik dengan anak-anak.
Nah, itulah salah satunya
yang ingin saya tuliskan.
Teruskan membaca ya.
Kalau kalian mau ngeteh dulu, silahkan. Bisa kok baca blog ini sambil ngeteh
atau ngopi. Selonjoran di atas meja atau di kasur. Asal jangan keterusan tidur
saja ya.
Insiden-Insiden
Belajar Selama PJJ
Jangan dikira insiden dalam
pembelajaran itu hanya bisa terjadi di
kelas saat tatap muka. Saat mengajar daringpun sering terjadi. Berikut ini
adalah tiga insiden yang cukup parah yang saya dan Ayangbeb alami. Walau masih
banyak dan sering terjadi insiden-insiden lainnya. Hanya saja tidak cukup
menguras emosi jiwa, jadi tak perlulah dituliskan.
Salah Kirim Stiker
Ini kisah yang dialami
oleh Ayangbeb. Sedang asyik-asyiknya beliau memberi instruksi di wag tiba-tiba
ada anak yang mengirim stiker berupa gambar orang sedang menungging. Kalau tungging
saja sih mungkin bisa diterima sekalipun dongkol. Lah, itu tunggingnya dengan
posisi pantat terlihat dari belakang dan tidak pakai celana. Kebayang kan
kesalnya.
Terus ujung-ujungnya si
anak bilang kalau gawainya sedang diretas. Alamak, gurumu tidak
sebodoh itu juga kali, sebegitu gampangnya dibodohi.
Usut punya usut, pengakuan
si-anak stiker itu ditujukan buat temannya karena kesal. Masalahnya itu bapak guru
sedang mengetik pesan Nak. Elus dada deh.
Lagian itu stiker tidak
pantas dikirimkan kemanapun termasuk ke teman sendiri, sekalipun kamu sedang
kesal Nak!
Suaramu Masih Jelas
Terdengar Nak!
Setelah melewati satu semester
pembelajaran daring, baik guru maupun siswa sudah mulai akrab dengan penggunaan
aplikasi zoom dan google meet. Anak-anak sudah terbiasa berdiskusi secara
daring. Bertanya, menjawab bahkan sekedar nyeletuk-nyeletuk unfaedah kerap
terjadi.
Kalau sekadar candaan,
masih bisalah ditolerir. Nah, yang saya alami rasanya sudah mengusik jiwa harga
diri saya sebagai guru.
Ceritanya begini.
Waktu itu saya mengajar di
aplikas google meet dengan menggunakan laptop. Rupanya baterai laptop saya
mulai menurun dayanya. Agar proses pembelajaran tidak terputus, saya buka juga
google meet di gawai saya. Laptop otomatis tidak menyala dan saya keluar dong
dari google meet.
“Permisi Nak, ibu mau pasang
carger laptop dulu, kamera saya off kan ya” Saya bicaranya melalui gawai.
Tiba-tiba ada suara seorang
anak laki-laki.
“Ih, kurang ajarnya ibu.
Keluar dari room tidak bilang-bilang”
Astagfirullah, jadi
darting dong sayanya.
Tadinya gairah mengajar
sedang naik-naiknya berubah jadi turun drastis. Rasanya bagaikan sedang mesra-mesranya
dengan kekasih tiba-tiba di ghosting. Kebayang kan kesalnya.
Anak itu pikir, saya
sudah keluar dari room google meet sehingga ia dengan gampangyna mengumpat saya,
padahal suaranya masih jelas terdengar di
gawai saya.
Saya bertanya, siapa
pelakunya?
Pelaku tak bicara yang
intinya tidak mau mengakui. Berhubung saat itu saya sedang sibuk memasang
carger, maka saya tidak mencermati siapa pelakunya.
Pembelajaranpun saya
hentikan. Tidak mungkin dong saya teruskan mengajar dengan hati kesal.
Teman-temannya ikutan kesal, lalu ada anak yang japri ke saya dan memberitahu
siapa pelakunya.
Setelah beberapa hari,
melalui wali kelasnya ditemukanlah pelakunya. Saya tidak minta anak itu
dihukum, hanya meminta orang tuanya bersama anaknya datang untuk berdiskusi.
Apa yang terjadi setelah
insiden itu? Laiknya ibu yang marah
sama anaknya, kalau si anak sudah minta maaf maka masalah selesai.
Begitulah. Masalah selesai, tetapi
saya tetap tuliskan di sini sebagai kenang-kenangan, hi-hi-hi.
Foto Profilku Digunakan Untuk Membodohi Siswa
Suatu malam, A. Nurul
Mawaddah wali kelas VII mengontak saya. Beliau mempertanyakan, betulkah saya memerintahkan
anak walinya menginstal aplikasi Snac Video?
Lah, bagaimana ceritanya.
Saya kan tidak mengajar di kelas anak tersebut.
Kemudian beliau mengirim beberapa
foto hasil tangkapan layar (sceenshot) orang tua siswa. Tampak di foto itu, saya meminta
siswa untuk mendownload aplikasi snac video. Mengapa wali kelasnya
berkesimpulan kalau itu adalah saya, karena foto profil yang mengirim pesan itu
menggunakan foto profil WathsApp saya. Untungnya ibu wali kelas yang teliti itu memeriksa nomornya, dan ternyata itu bukan nomor saya.
Innalillah! Rupanya ada
oknum yang mencuri foto profil WA saya.
Dan, sampai saat ini,
baik saya maupun wali kelasnya belum mengetahui siapakah pelakunya.
Saya berusaha
berprasangka baik sajalah. Mungkin oknum tersebut sedang kesusahan mencari uang
sehingga menjadikan anak kelas VII yang tidak mengerti apa-apa sebagai
korbannya.
Dengar-dengar orang yang
bisa mengajak orang lain menginstal aplikasi tersebut akan mendapatkan sejumlah
uang.
Nah, dengan menggunakan
foto profil saya, si anak akan dengan mudah mengikuti perintahnya. Lah, yang
meminta kan gurunya yang manis manja ini, siapa tahu anak-anak nurut gitu kan ya? Ha-ha-ha.
Saya hanya berharap,
siapapun pelakunya segera bertobat. Sebab saya pikir, perbuatan ini sulit dilakukan
oleh siswa yang masih anak-anak itu. Bisa jadi dilakukan oleh orang dewasa,
mungkin orang tuanya atau kakaknya. Wallahualam bissawab.
Dari beberapa kali
wawancara dengan anak-anak yang terkait dengan kejadian tersebut justru bingung.
Bahkan salah satunya sudah mengikuti permintaan yang mengaku saya itu, menginstal aplikasi Snac Video.
Penutup
Dari beberapa insiden
yang saya paparkan di atas, bisa disimpulkan, bahwa semua itu terjadi karena
kecerdasan literasi digital anak-anak masih sangat rendah.
Kalau anak-anak yang masih
kurang cerdas literasi digitalnya masih bisalah dimaklumi. Yang disayangkan itu
adalah kalau yang kurang cerdas literasi digitalnya adalah orang dewasa apalagi
kalau itu adalah gurunya.
Apa kata dunia.
Eits, kok larinya ke
litersi digital sih. Soal ini nanti deh saya tulis. Psst, sudah ada drafnya, tetapi
belum masuk meja editor. Haisss gaya amat saya yah. hahaha.
Demikian cerita saya
seputar pembelajaran jarak jauh. Semoga terhibur dan terinspirasi. Selamat belajar tatap muka buat kalian yang masih berstatus pelajar, semoga sukses.
Kalian bisa juga nih baca
tulisan saya tentang WFH ↦ di sini
Covid Melanda Efektifkah
belajar Daring klik ↦ di sini
Makassar, 17 Oktober 2021
Dawiah