Bu Leli Menggugat Serti
Semenjak
Leli memberi pizza dengan taburan
cabe bubuk kepada Bu Kur, ia tidak berani lagi masuk ke ruangan kurikulum.
Sekalipun Bu Kur sudah memaafkannya, tetapi rasa bersalahnya tak bisa ia
tutup-tutupi.
Bayangkan
saja, seharian itu Bu Kur tidak masuk kelas mengajar akibat bibirnya yang
dower, bukan hanya dower, air mata Bu Kur tak berhenti-henti keluar karena
bibirnya terasa panas dan nyeri.
Bu
Kur memaafkan kekhilafannya karena pengakuan Leli bahwa ia tidak tahu soal
alerginya terhadap cabe. Padahal sebenarnya Leli tahu dan sengaja menaburi
bubuk cabe di atas pizza yang berujung insiden bibir dower itu.
“Leli,
kita ke ruangan kurikulum yuk, ada daftar hadir yang mau ditandatangani.” Fatma
menggamit lengan Leli.
“Bisa
diwakilikah?” Leli menepis halus tangan Fatma.
“Aiiis,
mana bisa tanda tangan diwakili. Ini laporan kehadiran yang mau dibawa Bu Kur
ke kantor walikota.” Ima berdiri dari kursinya sambil menyikut lengan Leli.
“Kamu
masih merasa bersalah sama Bu Kur ya?” Fatma menatapnya prihatin.
“Kenapa
merasa bersalah terus, kan kamu tidak tahu kalau Bu Kur alergi cabe.” Ima
mengedipkan matanya menggoda Leli.
“Tetapi,
kenapa ada pizza taburannya cabe bubuk ya?” Fatma bingung.
“Ah,
sudahlah, berhenti bahas masalah itu. Leli tambah merasa bersalah.” Ima
menyenggol lengan Fatma.
“Kalian
duluan saja, sebentar saya menyusul.” Leli memotong pembicaraan kedua temannya
itu.
“Yah,
sudah. Kami duluan. Mau kutitipkan salam sayang kepada Bu Kur?” Ima menggoda
Leli sebelum berlalu.
“Ha-ha-ha mana berani dia?” Fatma terbahak.
Leli
hanya cemberut sembari menatap punggung mereka.
Tak
lama seorang pengatar paket masuk ke ruangan guru.
“Permisi,
atas nama Bu Leli Arianti ada?”
“Saya
Pak.” Leli berdiri menyambut pengantar
paket.
“Ini
pesanan Ibu.” Sang pengantar paket menyodorkan paket makanan dengan sopan.
“Terima
kasih. Bayarnya pakai saldo yang di aplikasi ya Pak” Leli menerima paket.
“Iya
Bu, terima kasih.”
Perlahan
Leli membuka paket itu. Aroma kue bolu menyeruak.
“Semoga
Bu Kur suka.” Suara hati Leli penuh harapan.
Siang
itu Leli pulang sambil bersenandung. Hatinya lega sekaligus bahagia. Kue bolu
yang dipesannya telah diterima dengan baik oleh Bu Kur.
“Saya
kira pizza.” Bu Kur berseloroh, menggoda Leli.
“Aaah
Ibu, saya minta maaf, waktu itu saya tidak tahu kalau Ibu alergi cabe.” Leli
tersenyum jengah.
“Jangan
diambil hati, saya cuma bercanda Bu Leli.” Bu Kur tersenyum.
“Hm,
cantik juga Bu Kur kalau sedang gembira. Beda kalau sedang marah, mukanya
berubah seperti harimau. Aups, apa yang saya pikirkan ini.” Leli menegur suara dari dalam hatinya.
Bukan
maksud Leli menyogok Bu Kur dengan kue bolu, tetapi lebih kepada menebus
kesalahannya. Biarlah rahasia tentang ketidaktahuannya soal alergi cabe
itu tersimpan aman di kalbunya.
Tidak
semua hal mesti diungkap kebenarannya demi mendapatkan kata maaf. Kadang
merahasiakan suatu keburukan jauh lebih baik agar hubungan dua orang manusia
bisa harmonis.
Pura-pura
saja tidak tahu atau sekalian melupakannya, karena melupakan hal buruk adalah
anugrah yang tidak semua orang mendapatkannya.
Itulah
yang diharapkan Leli juga Bu Kur.
Malam
itu Leli menyiapkan makan malam sambil bersenandung.
“Bahagia
sekali nampaknya, Dik.Tanda-tanda mau dapat rezeki ya?” Arya tersenyum melihat
istrinya.
“Melihat
kakak tersenyum dan sehat, itu rezeki berlimpah buat saya.” Leli membalas
perkataan suaminya dengan melirik mesra.
“Apalagi
kalau dapat amplop coklat kan?” Arya menggoda sambil menaruh amplop di atas
meja.
“Masyaallah,
sertifikasi kakak sudah cair?” Leli berseru dengan mata bersinar.
“Alhamdulillah.”
“Kebetulan
sekali Kak, Pak Iwan sudah tiga kali mengirim surat cinta, hi-hi-hi.” Leli
berseloroh menggoda suaminya.
“Ah,
Pak Iwan tahu saja kalau si serti sudah datang, pasti surat cintanya langsung
melayang. Untung bukan saya yang dikirimi surat cinta, ha-ha-ha.” Arya
tergelak. Leli mencibir.
“Menyesal
dulu waktu mau ambil kredit mobil pakai KTP dan nomor handpone saya.
Sudah ah, kita makan dulu.” Leli menyodorkan piring.
Mereka
menikmati makan malam dengan gembira. Sesekali diselingi dengan bercanda.
Pasangan muda yang belum genap setahun menikah
itu menikmati masa-masa pacarannya.
Setelah
dapur bersih. Leli meraih amplop coklat yang sedari tadi menggodanya. Ia
membawa amplop itu bersama segelas air putih untuk Arya ke dalam kamar tidur
mereka.
Amplop
coklat dibuka perlahan oleh Leli. Arya mengamati dengan saksama sambil
membatin. “Semoga Leli tidak mempersoalkan lagi potongan yang tadi pagi ia
setorkan ke Pak Isman.”
“Lah,
ini kurang Rp.300.000 ya Kak?”
Deg!
Hati
Arya berdegup. Hati-hati ia menjawab.
“Setoran
periode ini bertambah Dik.”
“Setoran
kepada siapa, untuk apa Kak?” Sekuat hati Leli menahan kegusarannya.
“Ini
kan hal yang sudah sering terjadi Dik, masa dipertanyakan lagi.” Arya mengusap
lengan istrinya.
“Itu
dia yang bikin saya tidak habis pikir Kak. Di sekolah saya, tidak pernah
melihat atau mendengar adanya potongan sertifikasi yang berkedok setoran untuk
sumbangan atau apalah itu.”
“Setiap
sekolah kan beda-beda kebijakannya.” Arya masih mengusap lengan istrinya.
“Iya,
kalau menyumbang untuk teman yang sedang kena musibah, atau sekedar memberi
sedikit ucapan terima kasih kepada yang mengurusi surat-surat, itu biasa, dan saya
yakin, kita ikhlas.” Leli menghela napas.
“Lah,
di sekolah Kakak ini, langsung ditentukan sekian jumlah yang harus disetor
setiap cair sertifikasinya guru. Terus yang terima itu siapa saja, dan berapa
saja yang dibagikan?” Leli tak dapat lagi menahan kedongkolannya.
Arya
hanya bisa diam. Bagaimanapun ia harus melakukan itu. Menyerahkan sejumlah uang
kepada Pak Isman, guru yang bertugas mengumpulkan setoran.
Katanya,
uang itu akan dibagi-bagikan kepada orang-orang yang telah mengurusi
sertifikasi hingga sertifikasinya bisa cair dengan lancar.
Entahlah.
Sebenarnya
sudah ada beberapa orang guru di sekolahnya yang pernah protes atau sekedar
mempertanyakan, tetapi suara-suara itu hilang ditelan angin. Ditenggelamkan oleh suara yang lebih nyaring
dan riuh.
Jika
berada di lingkungan yang mayoritas menyetujui suatu keputusan, maka suara-suara
sesumbang apapun akan menguap dengan sendirinya. Bahkan orang yang bersuara apalagi
memprotes akan dianggap sebagai orang yang tidak peduli, syukur-syukur
kalau tidak dicap guru pelit.
Begitulah.
Leli
tahu hal itu, tetapi Leli tetap saja gusar, padahal kejadian seperti itu sudah
menjadi kebiasaan lama di sekolah suaminya. Barangkali sudah ada sejak sekolah
itu berdiri.
Arya
merangkul istrinya, “kita ikhlaskan saja ya Dik, insyaallah rezeki kita akan
ditambah oleh Allah Swt.”
“Entahlah
Kak, saya tidak yakin bisa ikhlas.” Leli tersenyum sangsi.
“Saya
yakin, teman-teman kakak ada juga yang punya perasaan seperti saya.” Leli menghela
napas.
“Jangan
berprasangka buruk Dik. Siapa tahu hanya kita yang kurang ikhlas. Eh, bukan
kita, tetapi Dik Leli saja.” Leli memonyongkan bibirnya, gemas mendengar kalimat
terakhir.
“Masalahnya,
pembayaran kredit mobil kita kurang Kak!” Leli mencubit perut suaminya.
“Auh
… Sakit Dik!” Arya meremas tangan istrinya.
“Ya
sudaah, ambil saja tabungan untuk anak kita. Kabar kedatangannya kan belum
pasti, tuh ia gugur lagi.” Arya menggoda istrinya.
Leli
cemberut lagi dan refleks memegang perutnya.
Pembicaraan
soal setoran sertifikasi malam itu berakhir dengan damai. Leli berusaha
melupakan gugatannya kepada si serti, eh sekolah suaminya.
Ia
paham itu bukan kebijakan sekolah, melainkan aturan yang tak punya dasar yang
dilakukan oleh oknum. Sayangnya, oknum itu banyak dan mereka kompak.
Suaminya
bisa apa. Hanya guru biasa yang tak punya jabatan, apalagi hanya guru baru di
sekolah itu.
Krik
… krik … krik …. gugatan Bu Leli menjadi uap tanpa disublim.
Catatan:
Jika
ada nama, tempat, dan kejadian yang sama dalam tulisan ini, maka itu hanya
faktor kebetulan saja.
Baca juga cerita guru berikut.
Tentang penerimaan siswa baru di sini
Catatan Hari Guru di sini
Tentang perjuangan guru mengajar daring di sini
gugatan Bu Leli akhirnya menguap ya Bu, sebuah realitas kehidupan yang emang banyak terjadi dalam kehidupan nyata juga
ReplyDeleteSedih sekali yaa..
ReplyDeleteUangnya mungkin tidak begitu besar, tapi potongannya bikin guru gigit jari.
Semoga Bu Lely dan keluarga senantiasa diberi kemudahan lainnya.
Penasaran kisah Bu Lely dan rekan-rekan seperjuangannya di sekolah untuk next chapter, Bunda..
DeleteUntungnya punya suami yang seperti air yang meneduhkan ketika hati ini panas
ReplyDeleteKunjungan perdana,
ReplyDeleteCeritanya drama banget kak, hehe
Miris bacanya.. kebayang uang yang sangat dibutuhkan oleh orang lain, tapi seenaknya dipotong Ama yg atas2, demi dalih sumbangan, donasi ato apapun itu yg ga jelas :(. Kadang aku bener2 penasaran, orang2 yg suka menyunat dana begini, apa yakin bisa bahagia, uangnya ga berkah :(.
ReplyDeleteCeritanya memang drama tapi banyak pembelajaran banget disana hehehe, aku juga dulu suka banget nulis cerpen kayak gini Mba, tapi udah lama nggak nulis hehehe
ReplyDeleteMbakk kirim ke koran aja mba ceritanya mayan kalo dimuat dapet honor bagus soalnya
ReplyDeleteHufft... Harus diikhlaskan ya, walopun berat.
ReplyDeleteBegitulah kondisinya sekarang, langsung main potong, padahal bisa saja kebutuhan si penerima lagi banyak2nya.
Wah ini cerita bersambungkah?
ReplyDeleteKalau iya, berarti saya baru baca yang part ini aja.
Praktek pungutan ilegal sudah pasti tumbuh subur jika ada pelaku dan pendukungnya. Semoga dihindarkan dari lingkungan yang begini dah...
Kalau aku udh gusar dr td mau buka amplop coklat hahhaha. Ak suka amplop. Tapi kl kurangnya sampe 300rb. OMG. Banyak jg ya. Udh bs dapat 2 kaleng susu bubuk.
ReplyDeleteTapi ya itu terjadi. So kt hrs hati2.
Pura-pura saja tidak tahu atau sekalian melupakannya, karena melupakan hal buruk adalah anugrah yang tidak semua orang mendapatkannya.
ReplyDeleteTerima kasih untuk pelajaran berharga ini, Kak..
Jadi inget jaman ngajar dulu. Sertifikasi kami juga dipotong oleh yayasan. Bukan cuma buat yg ngurus sertifikasi, tapi seluruh yang ada di sekolah itu sampai ke OB pun dapat. Jadi kadang kita yg dpt sertifikasi, banyak di doakan sama yg ga dpt. Xixixi.. lah jadi curcol.
ReplyDelete