Awal berniat
mengikuti tantangan dari Joeragan Artikel, Menulis Blog Jadi Buku, saya sangat
yakin akan bisa menyelesaikan tantangan itu.
Namun,
manusia tetaplah manusia yang sampai akhir zamanpun tak akan mungkin menentukan
takdirnya sendiri. Makanya setiap merencanakan sesuatu, sekecil apapun itu kita
diwajibkan mengucapkan kata Insya Allah, jika Allah mengizinkan.
Qadarullah,
dua hari sebelum tantangan itu dimulai saya diberi “hadiah” oleh Allah SWT. Bonus
istirahat hingga beberapa hari. Padahal saya yakin sekali, postingan hari
pertama hingga hari ke 15 sudah ada drafnya, tinggal ditambahi sedikit agar
memenuhi syarat, tulisan harus minimal 1000 kata. Gampanglah itu pikir saya.
Astagfirullah!
Alhamdulillah,
hari ini saya sudah bisa membuka laptop dan mencoba mulai menulis. Draf-draf
yang dimaksudkan mulai saya buka satu-satu, lalu saya putuskan memulainya dari
postingan ini terlebih dahulu.
Apa
yang harus saya tulis di blog?
Tema Pendidikan
Insya
Allah, memenuhi tantangan ini, saya memilih tema pendidikan. Tema yang memang
telah lama menjadi bagian dari hidup saya. Namun saya khususkan pada satu bagian
dari perjalanan karierku sebagai guru. Menjadi guru sekaligus kepala sekolah.
Alhamdulillah,
saya pernah berada di posisi tertinggi pada suatu satuan pendidikan, sekalipun
hanya di sekolah swasta. Saya katakan “hanya” karena predikat swasta di Indonesia
belum sekeren sekolah negeri.
Oh
yah, sebelumnya saya mau cerita. Bahwa, saya telah menjadi guru saat usia masih
belia, setahun setelah tamat SMA. Saya merasa ini cukup keren, setidaknya di
saat remaja seusia saya saat itu masih bersenang-senang dengan kuliahnya, saya justru telah menjadi guru.
Saat gadis-gadis seusia saya menikmati masa belajar tanpa perlu pusing memikirkan biaya kuliahnya, saya bahkan sudah berjibaku dengan tugas mengajar sekaligus tugas kuliah. Kurang keren apa lagi coba, ha-ha-ha.
Pertengahan
tahun 1984 saya sudah menjalani masa kuliah selama satu semester, dan saya merasa
ilmu guru dan ilmu mengajar yang saya dapat selama satu semester itu sudah
cukup untuk jadi bekal menjadi guru yang sebenarnya. Itu percaya diri atau
nekad ya namanya?
Terserahlah, yang jelas saya jadikan itu alasan untuk datang ke sekolahku dahulu. Kompleks Kapoposang namanya, di sanalah saya menamatkan sekolah tingkat pertama, SMP. Saya mengajukan lamaran kepada Ketua Majelis Dikdasmen Muhammadiyah yang menaungi sekolah itu.
Daan saya diterima!
Sejak
hari itu, saya resmi menjadi guru honor di Kompleks Kapoposang.
Jangan Sebut Saya Anak Kecil, Paman!
“Kalian akan diajar Fisika oleh anak kecil itu, yang baru tamat SMA? Pastilah kalian akan semakin bodoh.”
Kalimat
itu disampaikan oleh guru senior yang jam mengajarnya sebagian dialihkan
kepada saya. Saya santai saja mendengarnya. Sedikit kecewa sebenarnya tapi tak
sampai membuat saya menangis apalagi bersedih. Itu adalah pantangan terbesarku
Tidak boleh menangis jika dipandang sebelah mata, justru itu harus dijadikan pecut buat mencemeti diri menjadi lebih maju, pesan bapak saya.
Hari
pertama memasuki kelas, saya terpesona dengan wajah-wajah murid-murid. Mereka hampir
seumuran denganku, hanya beda 3 hingga 4 tahun, bahkan ada yang seumuran
dengan saya, mungkin dia terlambat masuk SD.
Keadaan
itu cukup menguntungkan, kita hampir sefrekuensi, sedikit saja saya menurunkan
frekuensi dan membujuk mereka menaikkan sedikit freuensinya maka pastilah
kami sefrekuensi. Segampang itu.
Selama
satu semester saya mengajar dengan sukses. Berhasil merebut hati murid-murid. Kami
menjadi teman belajar, diskusi, sekaligus teman bertengkar.
Kabar
baiknya, saat saya berjibaku belajar untuk mengajar, nilai-nilai di perkuliahan mendapatkan imbasnya. Saya mendapat beasiswa.
Sementara
itu, guru yang merendahkan di awal mengundurkan diri. Mungkin ia tak tahan
melihat saya yang sukses mengajar dan sukses pula merebut hati murid-murid. Kita
kan seumuran maka wajarlah kalau mereka merasa dekat dengan saya.
Kalau
ingat itu, ingin rasanya berkata seperti apa yang selalu diucapkan oleh Shiva di film karton dari India.
“Jangan sebut saya anak kecil, paman!”
Mau
Tetap Mengajar di Kota Sebagai Guru Honorer atau Menjadi Guru PNS?
Dua
tahun sudah saya menjalani masa pendidikan guru IPA di IKIP Ujung Pandang, Diploma II IPA
nama programnya. Saya berhasil menyelesaikannya dengan cara yang seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya 🤣
Program
pendidikan guru Diploma II waktu itu merupakan proram pemerintah era Presiden
Soeharto. Semua lepasannya otomatis akan diangkat menjadi guru PNS. Sungguh
beruntungnya saya.
Setelah
wisuda, saya dan teman-teman berhamburan menuju papan pengumuman. Di sana
sudah tertempel nama-nama lulusan lengkap dengan daerah tempatnya akan
bertugas.
Saya dapat sekolah di sebuah desa yang tidak terlalu jauh dari kotaku. Namun, desa itu
masih tergolong desa terpencil.
Ya
Allah, itu berarti saya harus meninggalkan sekolah tempatku mengajar selama 1,5
tahun. Saya akan jauh dari orang tua dan keluarga. Berbagai pikiran berkecamuk.
SK
pengangkatanku kulipat rapi dan menyimpannya di dalam map. Saya putuskan akan
tetap mengajar di sekolah saya yang sekarang, tak mau ke desa.
Hal
itu berlangsung hingga satu semester. Bapak dan kepala sekolahku terus
membujuk.
“Kalau
kamu tetap mengajar di sekolah ini, maka seumur hidupmu akan terus menjadi guru
honorer.” Kata kepala sekolah.
“Betapa
bodohnya kamu Nak, banyak yang mau seperti dirimu, jadi PNS. Jangan menolak rezeki
dari Allah.” Bujuk bapak.
Kepala
sekolah sungguh sayang kepada saya, beliau memberi kelonggaran, saya dibolehkan mengajar
3 hari dalam sepekan, selebihnya mengajar di sekolah baru.
Sejak
saat itu, saya bolak balik dari kota ke desa. Minimal dua kali dalam sepekan.
Melakukan
pekerjaan dengan hati terbagi dua tidak semudah menghirup udara pegunungan
Bulusaraung. Saya lelah, gaji habis untuk biaya transpor, ditambah lagi, ada
hati yang selalu menarik hati saya untuk selalu kembali ke desa, sekolah baruku.
Bismillah,
saya memutuskan akan serius menjalankan kewajibanku mengajar di desa dan dengan
berat hati saya melepaskan sekolah lamaku, sekolah yang memberi saya kesempatan
mempraktikkan semua ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah.
Sekolah
yang terus menarik saya ke dalam kenangan yang indah. Sekolah yang berada di dalam
Kompleks Kapoposang.
Kompleks Kapoposang, Saya Kembali
Menjadi
guru di desa nyaris membuat saya lupa dengan kompleks Kapoposang. Sebuah kompleks
perguruan Muhammadiyah yang berada di Kota Makassar. Di mana di dalamnya terdapat tiga sekolah,
seperti pada umumnya perguruan Muhammadiyah di Indonesia.
Perguruan
Pendidikan Muhammadiyah di kompleks Kapoposang mewadahi SD Muhammadiyah 2, SMP
Muhammadiyah 3, dan SMA Muhammadiyah 2.
Allah
sungguh Maha Mengatur.
Tahun
1993, saya pindah ke kota kelahiran. Kali ini saya sudah tak sendiri. Saya pindah bersama
keluarga kecilku. Di sebuah sekolah negeri, SMP Negeri 7 Makassar namanya.
Di
sanalah saya mulai lebih fokus mengembangkan pengetahuanku, saya mendaftar kuliah
lagi meneruskan Diploma duaku.
Tak
cukup sampai di situ, saya kembali ke sekolah lama, diminta oleh kepala
sekolahnya yang masih setia di sekolah itu.
Kapoposang,
saya kembali. Jadi guru honor lagi.
Bagaimana
selanjutnya?
Nanti
saya tuliskan di postingan berikutnya ya, doakan saya sehat dan bisa menaklukkan tantangan ini.
Alhamdulillah. Tetap semangat ya menulis untuk tantangan ini. Mari kita tuntaskan. Siip
ReplyDeleteGuru, salah satu cita-citaku dulu.. orang yang paling berjasa dalam membangun manusia di dunia. keren mba
ReplyDeletestay safe and stay healthy everyone :D
ReplyDeleteSenangku baca kisah orang yang menikmati pekerjaannya sebagai guru, Kak. 😍
ReplyDeleteAlhamdulillah. 😍
Semoga berhasil memenuhi tantangan mba.. kisahnya sangat menarik. Saya bahkan masih sd di tahun 1993.
ReplyDeleteKisah yang luar biasa..
Seru ya pengalamannya mengajar. Mungkin ada niat untuk dijadiin novel kak?
ReplyDeleteEmang sih saat kita disepelekan orang lain, rasanya malah jadi pecutan untuk membungkam mereka salah. Eh btw keren sih mba lulus SMA bisa ngajar fisika hehehe. Sehat2 ya cikguu.
ReplyDeleteWah kayaknya seru mbaa. Aku jadi pengin menantang diri sendiri jugaa. MasyaAllah. Mudah-mudahan sukses menaklukkan tantangannya
ReplyDeleteJadi rindu Makassar dan siswa SMPN 7 yang cerdas dan hormat pada gurunya. Saya penasaran ketika jaman masih awal mengajar dahulu, sedih dan sukanya bagaimana, apalagi tahun 84 saya batu lahir hehehe
ReplyDeleteSemangat kak. tantangan menulis itu sebuah seni yang keren. mengasah kita untuk terus produktif menulis. kamu pasti bisa kakak. ditunggu ya tulisan selanjutnya.
ReplyDeleteEmang kurang greget ya kak kalo hidup tanpa tantangan. Tantangan bikin kita terpacu dan beesemangat menjalani hidp
ReplyDeletekisahnya menarik banget kak..bnyk pelajaran yg bisa sy ambil segala sesuatu kalau dikerjakan menurut kata hati dan passion akan membuat kita bahagia ya..
ReplyDeletemantab benar jadi guru setelah tamat SMA kak, saya berdoa juga untuk pacar saya semoga bisa jadi guru juga. Dan untuk tantangan semoga berhasil ya kak
ReplyDeleteSaya pernah 2 minggu ekspedisi ke Pegunungan Bantimurung Bulusaraung, termasuk tinggal bersama masyarakat lokal di sana. Aduhhh, langsung jatuh cintaaaaa. Saya bisa mandi di sungai yg airnya jernih, meski itu kawasan karst. Saya lihat burung Julang setiap hari, lihat elang, dll, waaaaah jadi kangen saya. Wajar mba juga galau dulu yaaa. Tapi emang benar itu, ongkos transportnya berat. Syukurlah masa-masa ini sudah terlewati ya mba. Pastinya semua pengalaman mengajarkan kita banyak hal.
ReplyDeleteAah... Jadi penasaran.lanjutan ceritanya bun!
ReplyDeleteSegala sesuatu kalo dikerjakan dengan hati, hasilnya pasti akan maksimal. Tidak peduli berapa pun umur ta, muda atau tua.
Sukses selalu bunda, sang guru idola.
Wah Bunda seangkatan sama kakak pertama saya, tahun segitu dia juga program pendidikan D2 dan lulus langsung menjadi guru PNs di SMP di dekat rumah orang tua saya
ReplyDeletePengalaman yang sungguh menarik Bunda..ditunggu kelanjutan kisahnya ya
jadi guru itu paling banyak bermanfaat ya, mengajarkan semuanya sebenarnya. apalagi sudah jadi PNS jadi guru idaman lah
ReplyDeleteSemangat untuk tantangan menulisnya mbak. Terima kasih juga atas pengabdiannya, walau pun di daerah terpencil bisa jadi itu ladang pahala yang sudah disiapkan Allah untuk mbak. ^^
ReplyDeletePerjalanan hebat dari seorang yang mendedikasikan ilmunya untuk mencerdaskan anak bangsa. Jadi penasaran lanjutanya...
ReplyDeleteSukses selalu ya bu...
1984 ya Alloh Bu, kakak saya aja belum lahir. Ibu nampaknya seumuran ibu saya, salam hormat kepada ibu yang giat menulis di kehidupan nyata dan maya..u are so awesome bu, barakallahu fiik
ReplyDeleteSayajuga ikut tantangan ini Bunda tapi tersendat hiks masih bingung soal tema buku jadi terhambat nulisnya.
ReplyDeletemasyaallah tulisan ini menebar semangat. Sungguh, saya malu sendiri rasanya. Saya merasa orang yang paling sibuk. tapi ibu masih semangat menulis. Terimakasih Bu.
ReplyDeletekeren sekali kakak Bunda.. penuh semangat dan inspirasi.
ReplyDeleteSebenarnya jika berhasil melaksanakan tantangan 20 hari menulis tanpa halangan pasti suatu pencapaian yang luar biasa hebat menurutku.
ReplyDeleteTapi yang namanya musibah kita tak dapat memprediksi, aku pun termotivasi tuk menantang diri sendiri jika menulis dalam kurun waktu 20 hari,berhasil gak ya.
Sukses ya kak
Wah...penulisannya ttg pengalaman jadi guru ya Bun. Semoga selesai ya artikelnya. Semangaat...Siap² dibukukan deh...
ReplyDelete