“Saya takut bermimpi naik haji, mencukupi makan kalian 2 kali sehari saja saya sudah bersyukur, ditambah kalian sekolah minimal tamat SMA. Alhamdulillah.”
Itu kata-kata mama puluhan tahun silam.
Ia sadar diri, bahwa berhaji itu memerlukan
biaya yang tidak sedikit.
“Untungnya ibadah haji hanya
diperuntukkan bagi yang mampu, bagaimana-mi kalau diwajibkan seperti
ibadah salat dan puasa, aiss … manrasana, hehehe…”
Sebagai single parent dan
membiayai 5 orang anak, bukanlah perkara
gampang bagi mama. Hanya bermodalkan
rumah petak yang disewakan kepada anak sekolahan, mama berjuang menghidupi
anak-anaknya. Beliau harus menahan segala keinginan dan impian-impiannya.
Sampai-sampai beliau takut bermimpi
menunaikan ibadah haji.
Waktu itu, saya berbisik dalam hati,
“Insya Allah, saya akan membayar ongkos naik haji mama.” Tetapi saya hanya berani
berbisik dalam hati. Takut memberinya harapan yang tak pasti.
Berani Merajut Mimpi
Impian ibarat pengharapan, jika tak
punya impian, bagaikan bunga yang
layu sebelum berkembang. Namun demikian, kadang kita dihadapkan pada suatu
keadaan dimana kata impian serupa dengan khayalan semata.
Mungkin begitulah pikiran mama. Ia sadar bahwa keadaan ekonominya sama
sekali tidak mendukung untuk membayar ongkos naik haji. Ia merasa tergolong
orang tidak mampu.
Saya yakin, saat berbisik dalam hati
berniat membayarkan ongkos haji mama, malaikat mengaminkan doa saya dan Allah
mendengarnya. Karena 17 tahun kemudian, tabungan kami cukup untuk menyetor ongkos
naik haji. Setidaknya kami berhasil mendapatkan nomor porsi.
Binar-binar kebahagiaan mama tak
dapat disembunyikan. Ia terkekeh bahagia.
Walaupun pada saat kami mendaftar ada
salah seorang pegawai Departemen Agama yang bicara, kalau kami harus menunggu 8
tahun baru bisa berangkat.
Semburat kekecewaan tiba-tiba
menyelimuti wajah mama. Saya bisikkan ke
telinga mama.
“Jangankan 8 tahun, 10 tahunpun tidak mengapa. Yang penting Allah Swt sudah mencatat nama kita sebagai
calon jamaah haji.”
Mama hanya mengangguk, entah beliau
paham atau tidak.
Maka sejak saat itu, mama mulai
merajut impiannya. Naik haji.
Cobaan Datang dalam Penantian Panjang
8 tahun berjalan tanpa terasa
dan mama semakin tak sabar dalam penantian panjangnya, apalagi
kesehatannya mulai menurun.
Tahun 2018, beliau mulai gelisah.
"Katanya kita menunggu 8 tahun
dan sekarang sudah 8 tahun sejak pendaftaran, kenapa nomor porsi kita belum
keluar?"
Ternyata perkiraan pegawai Departemen
Agama saat itu justru lebih pendek waktunya dibandingkan kenyataannya. Kami
harus menunggu hingga 9 tahun lamanya.
Sebelumnya, pada tahun 2017 penyakit
tb menyerang mama. Beliau harus menjalani pengobatan selama enam bulan.
Harapannya ke baitullah menipis. Ia sangat putus asa.
Kami anak-anaknya hanya bisa
menghibur, bahwa seseorang yang akan diundang Allah akan selalu diuji. Mungkin
diuji kesabarannya atau bisa jadi "dicuci" agar saat waktunya nanti mama sudah
bersih jiwa raganya dan siap wukuf di Arafah.
Lepas masa pengobatan, mama dikatakan
bersih dari penyakitnya.
Kembali harapannya menyeruak. Sayangnya
panggilan berhaji itu belum datang.
Akhir tahun 2018 saya memberi kabar
bahagia, insya Allah nomor porsi haji kami sudah masuk tahun 2019.
Tak henti-hentinya mama mengucap
syukur. Beliau mulai menyusun kembali asa yang sempat surut.
Cobaan Kedua
Rupanya Allah masih sayang mama. Dia
masih mau bercengkerama dengan zikir-zikir beliau. Allah rindu dengan doa-doa
mama, maka cobaan kedua menyapa beliau.
Mama mengeluh sakit di bagian pinggul
dan pangkal paha. Ia tak mampu menopang tubuhnya. Tidak bisa jalan. Untuk ke
kamar mandi saja ia harus ngesot, merangkak. karena tidak bisa berdiri
dan akhirnya beliau diopname.
Setelah mengikuti serangkaian
pemeriksaan termasuk foto rontgen, oleh dokter dikatakan bahwa tulang duduknya mengalami
patah, dan tidak ada jalan lain selain operasi.
Setelah berembuk dengan keluarga
akhirnya kami memutuskan untuk tidak mengambil jalan operasi melainkan mencari pengobatan alternatif.
Singkat cerita, mama
dipertemukan dengan orang yang pandai mengurut. Saat pergi ke rumah
tukang urut itu beliau menggunakan kursi roda, bahkan disentuh pinggulnya saja
beliau meringis kesakitan.
Masya Allah pulangnya ia bisa jalan
kaki, tidak ada lagi keluhan di bagian tulang ekornya. Hanya sedikit nyeri di
bagian paha.
Pengobatan alternatif itu beliau
jalani selama sebulan. Lambat laun kesehatan mama mulai membaik. Mama sudah bisa berjalan perlahan
walau tak bisa jalan jauh dan lama.
Tiga bulan kemudian, ia kembali
mengeluh. Kali ini sakitnya di bagian punggung. Tiba-tiba badannya kelihatan
sedikit membungkuk. Kembali mama putus asa. Ia tidak mau menyinggung apapun
yang berhubungan dengan ibadah haji.
Jika sakit di bagian punggungnya itu datang, mama mengerang
kesakitan. Ia sangat putus asa.
"Saya memang sudah ditakdirkan
tidak berhaji sampai pergi menghadap Sang Ilahi."
Saya kesal mendengar ucapannya.
"Ma, tidak ada orang yang berhak
mendahului keputusan Allah. Jangan putus asa, kita harus ikhtiar."
Kali ini saya berinisiatif membawanya
ke Ratulangi Clinik Centre, saya dapat informasi kalau di klinik tersebut ada
dokter ahli tulang dan sendi. Beliau dokter yang diakui oleh pasien-pasiennya
sebagai dokter yang mumpuni.
Namanya dr. Arman, caranya memeriksa pasien
menenangkan dan mama terkesan.
Dari pemeriksaan yang intensif, mama
dinyatakan menderita penyakit osteoporosis.
Beberapa tulang punggungnya patah
akibat keropos.
Tetapi dr. Arman meyakinkan mama jika
beliau bisa bertahan asal rajin minum obat dan berhenti beraktivitas yang bisa
memicu patah tulangnya yang lain.
Maka rutinlah beliau minum obat
selama 3 bulan.
Memasuki bulan kedua, perkembangan
kesehatannya mulai menunjukkan perubahan yang cukup signifikan.
Beliau tidak lagi mengeluh sakit,
sudah mulai berjalan perlahan lagi, bisa duduk dengan sedikit tegak walaupun
masih menggunakan kursi roda jika berjalan jauh.
Harapannya ke tanah suci kembali membara.
Senyumnya sudah mulai semringah lagi. Bahkan semakin ceria dan bersemangat saat
saya memperlihatkan undangan manasik hajinya.
"Positif-mi ini kita
terdaftar sebagai calon jamaah haji, Dawiah?"
"Insya Allah Ma. Makanya mama
harus sehat. Jangan lagi bandel, ikuti saran dokter." Mama masih juga tak
mau berhenti melakukan kegiatan yang membahayakan tulangnya.
Hari-hari Indah di Madinah
Tanggal 15 Juli 2019 adalah waktu pemberangkatan
kami. Mama masih dengan kursi rodanya, terlihat lemah namun ada harapan dan
semangat di matanya.
Sudah tak ada lagi keraguan. Beliau
sangat yakin bisa mengerjakan semua rukun haji dengan baik.
Kepada keluarga dan orang-orang yang
datang menjenguknya, beliau berkata, “Yang
penting anak dan menantuku sehat, saya
pasti bisa menjalankan semua rukun haji.”
Saya yakin, itu adalah doanya seyakin saya, bahwa Allah pasti mengabulkan
doanya.
Saya, suami, dan mama terdaftar
sebagai calon jamaah haji kloter 14 embarkasi Makassar, UPg-14.
Tanggal 17 Juli 2019 sekitar pukul
11.00 waktu setempat, rombongan kami tiba di bandar udara Internasional Prince
Muhammad bin Abdul Aziz, Madinah Arab Saudi.
Selama 8 hari di Madinah, mama masih
harus melanjutkan minum obat
osteoporosisnya. Dengan sabar beliau menjalani hari-hari di Madinah.
Saya hanya bisa membawanya salat berjamaah di masjid Nabawi setiap
subuh, magrib, dan isya.
Mama mengerti bahwa mendorong kursi
rodanya di siang bolong sangatlah tidak kondusif, baik untuk kesehatannya sendiri maupun kesehatan pendorongnya, yaitu saya,
karena suhu saat itu di Madinah mencapai 48oC.
Saya salat zuhur di masjid Nabawi tanpa
beliau, sedang salat asar saya menemaninya di hotel.
Saat diberitahu oleh jamaah lain,
kalau salat Arba’in saya tidak cukup karena setiap salat asar saya tidak ke
masjid, dengan entengnya mama menjawab,
“Saya yang akan mencukupkannya.”
Apakah itu diijabah oleh Allah atau
tidak, wallahualam bissawab.
Hari kelima, saat pulang salat subuh
tiba-tiba mama meminta turun dari kursi rodanya, beliau mencoba jalan kaki.
Masya Allah, mama berjalan perlahan
sejauh 100 meter, saya mengikutinya sambil mendorong kursi rodanya yang kosong
dengan hati yang gemuruh.
Duhai Allah, sungguh besar kasih
sayang-Mu kepada mama.
Hari-hari di Madinah al munawwarah adalah
saat terindah bersama mama. Mendorongnya di atas kursi, menungguinya antri
berziarah ke makam Rasulullah.
Demikian pula saat ziarah ke masjid
Quba, masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah Saw pada tahun 1
Hijriah, atau sekitar tahun 622 Masehi hingga ke Jabal Uhud.
Semburat kebahagiaannya tak bisa ia
tutupi seiring semangatnya yang menderu mengalahkan sisa-sisa sakit di bagian
punggungnya.
Sehatlah terus mama, doakan saya
dengan doa-doa terbaik. Karena mama adalah perantara untuk menuju kepada rida
Allah.
Di masjid Quba, sumber pribadi |
Di Masjid Nabawi, sumber pribadi |