Masyarakat
Indonesia pastilah sudah akrab dengan
dua kegiatan tahunan sekolah, yaitu ujian nasional dan PSB atau penerimaan
siswa baru.
Dua kegiatan
ini merupakan peristiwa yang
ditunggu-tunggu oleh orang tua maupun
guru, bagaikan merayakan hari raya. Semua sibuk, orang tua sibuk, siswa
sibuk, guru-gurupun tak kalah sibuknya.
Kalau
tak salah saya sudah menjalani kedua proses itu lebih dari 30 kali. Dihitung
sejak saya diangkat menjadi guru pada tahun 1986, jika ditambahkan saat masih
menjadi guru honorer tahun 1984 maka bisa dibilang menjalani proses ujian
nasional dan penerimaan siswa baru sudah
lebih dari 30 kali.
Perbedaan PSB dari Tahun ke Tahun
Saat
masih bertugas di daerah, proses penerimaan siswa baru berlangsung santai. Kami
menunggu kedatangan orang tua atau siswa baru sambil bercanda bahkan sambil
main volly.
Jika
ada yang datang mendaftar, cukuplah kami berseru.
“Simpan
maki map ta di atas meja!” Maka orangtua atau calon siswa baru
menyimpan map atau berkasnya lalu pulang bahkan ada yang datang bergabung main
volly, hahaha….
Itu
berlangsung di awal penerimaan siswa
baru tahun 1986 di desa yang sejuk,
nyaman, dan damai.
Tahun
ajaran baru selanjutnya, kepala sekolah sudah membentuk panitia penerimaan
siswa baru, saat itu prosesnya berlangsung sedikit resmi. Meskipun sekolah
masih sepi. Tapi apresiasi masyarakat
terhadap pendidikan terbilang cukup bagus, namun jangan membayangkan orang tua
datang berbondong-bondong mendaftarkan anaknya.
Tahun
1993, saya pindah ke sekolah negeri di kota Makassar. Saya tertegun melihat
animo masyarakat kota yang sangat besar terhadap pemilihan sekolah buat
anaknya.
Sekolah
tempat saya bertugas saat itu adalah salah satu sekolah favorit di lingkungan
sekitar. Mungkin karena itu adalah sekolah
negeri satu-satunya yang berada di tengah dari tiga bahkan empat
kecamatan.
Mungkin
itu pula salah satu sebabnya orang tua berusaha mati-matian agar anaknya
bisa bersekolah di situ.
Karena
proses penerimaan siswa baru saat itu harus melalui tahap tes, maka tidak heran
jika banyak orang tua mendekati guru. Kadang minta dibantu saat tes atau apalah
itu. You know lah 😍
Saat
musim penerimaan siswa baru, tiba-tiba guru punya keluarga baru, teman baru,
atau teman lama yang sudah sekian tahun tidak bersua akan datang bertamu.
Keluarganya
keluarga, temannya teman, dan sebagainya.
Kadang-kadang
guru harus “bersembunyi” untuk menghindari permintaan mereka.
Drama
tidak berhenti sampai di situ, karena berlanjut paska pengumuman penerimaan
siswa baru. Ada lagi rangkaiannya, pendaftaran ulang yang diiringi dengan lulus
belakangan atau dikenal dengan istilah
lolos lewat “jendela”
Setelah
usaha pertama gagal maka tidak serta merta orang tua menerima, umumnya masih
berusaha memasukkan anaknya melalui jalur lain. Bahkan ada yang rela “mendanai”
proses itu.
Setelah
semua usaha gagal, barulah melirik ke sekolah swasta.
Mengemis Siswa
Bagaimana
dengan sekolah swasta?
Tentu
saja berbanding terbalik dengan sekolah negeri. Jika sekolah negeri kewalahan menolak
siswa baru maka sekolah swasta kewalahan mencari siswa baru.
Tidak
semua sekolah swasta seperti kasus di atas sebenarnya, karena ada beberapa
sekolah swasta justru mengalahkan kepopuleran sekolah negeri, namun tidak
banyak.
Karena
umumnya sekolah swasta mengemis siswa terutama sekolah swasta kelas menengah ke
bawah. Maafkan, istilah ini saya berikan kepada sekolah-sekolah swasta yang
bangunannya kurang mewah, fasilitasnya kurang baik dan kurang banyak, akreditasinya B bahkan C, dan sebagainya.
Termasuk
sekolah yang saya tempati bertugas pada 10 tahun terakhir. Diberi amanah
memimpin sekolah swasta menjadikan saya meninggalkan zona nyaman yang sehubungan
dengan PSB mutasi ke zona “nano-nano.”
Setelah
bergabung di sekolah swasta, saya baru tahu kalau ukuran keberhasilan sekolah
swasta pada umumnya yang diterapkan oleh yayasan adalah jumlah siswa yang
banyak.
Yap, kuantitas bukan kualitas.
Asal
jumlah siswanya banyak, sekolah swasta sudah bisa dikategorikan bagus. Urusan
kualitas belakangan.
Tak
heran, ada sekolah swasta memiliki jumlah siswa yang banyak di daftar
hadir siswa, tetapi sepi di kelas. Kapan ramainya? Saat ujian semester atau
saat ujian kelulusan.
Awalnya
saya kritisi keadaan itu, jiwa idealisme saya memberontak. Kenapa mau menerima
siswa tipe seperti itu, hanya mau terdaftar sebagai siswa tetapi tak mau
mengikuti proses pembelajarannya.
Namun
seiring dengan waktu, saya mulai sedikit memahami walaupun hingga detik ini
saya tak pernah setuju.
Proses Menghadirkan Siswa di Sekolah Swasta
Apa
yang saya dan tim lakukan saat menjelang penerimaan siswa baru, agar dapat memenuhi harapan yayasan,
menjadikan sekolah itu baik dari segi
kuantitasnya?
Banyak
hal sebenarnya, tetapi saya hanya mau cerita kisah-kisah manisnya saja dan
sedikit cerita lucu, biar pembaca tidak bosan, hehehe …
Enam
bulan sebelum penerimaan siswa baru, kami sudah “bergerilya” ke rumah-rumah
penduduk di sekitar sekolah. Membagikan selebaran, memasang spanduk di tempat-tempat
strategis dilihat masyarakat dan tak jauh dari lokasi sekolah kami.
Mendatangi
sekolah-sekolah SD, meminta izin ke kepala sekolah dan gurunya untuk
memperkenalkan sekolah kami sembari membagikan selebaran untuk diteruskan ke
orang tuanya. Yaah mirip-mirip salesman obat gitulah 😂
Pada
saat pengumuman kelulusan sekolah negeri, kami tidak tinggal diam. Tim
penerimaan siswa baru akan berdiri di depan sekolah negeri, mengamati siapa
saja yang tidak lulus.
Setiap
calon siswa baru yang tidak lulus di sekolah negeri tersebut kami “rayu” agar
mau mendaftar ke sekolah alternatif alias sekolah swasta.
Sementara
itu panitia penerimaan siswa baru yang bertugas di sekolah menanti di sekolah
sambil terkantuk-kantuk.🙍
Proses
penerimaan siswa baru ini berlangsung lama, bisa hingga menjelang ulangan
semester ganjil. Hal paling buruknya adalah mencari anak-anak yang tidak mau
melanjutkan sekolah, tetapi punya ijazah SD untuk dimasukkan namanya.
Tak perlu
ke sekolah yang penting mau didaftar. Prinsipnya,
daftar saja dahulu, belajar kemudian.
Semua
guru was-was, terutama yang sudah bersertifikasi. Jika siswa kurang maka
berdampak pada berkurangnya jam mengajar, lalu pemenuhan jumlah jam wajib bagi
guru bersertifikasi gagal.
Daaan
dana sertifikasi kembali ke haribaan pemerintah😛
Situasi
inilah yang membuat saya mulai memahami, mengapa ada sekolah swasta yang
menghalalkan segala cara demi mendapatkan siswa baru.
10
tahun berada di situasi itu telah membuka mata saya, bahwa masih banyak
masyarakat Indonesia yang tidak paham pendidikan. Kalaupun ada yang tahu dan
mau sekolah tetapi tidak mampu bahkan tidak mau berjuang.
Bahkan
ada orang tua yang tega menyuruh anaknya bekerja dari pada disekolahkan, lagi-lagi dengan alasan tak mampu membiayai.
Alih-alih
disuruh bekerja untuk membiayai sekolahnya, ini malah disuruh bekerja untuk
membiayai diri dan keluarganya.
Miris.
Sistem Zona, Apakah Kabar Manis Bagi Calon Peserta Didik Baru?
Berdasarkan
Permendikbud Nomor 17 Tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)
pada Taman Kanak-kanak, SD, SMP, SMA, dan SMK atau Bentuk Lain yang Sederajat di
bagian keempat pasal 15 tentang sistem zonasi dijelaskan, bahwa:
1. Sekolah
yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah wajib menerima calon peserta didik
yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit sebesar
90% (sembilan puluh persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang
diterima.
2. Domisili
calon peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan alamat pada
kartu keluarga yang diterbitkan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum
pelaksanaan PPDB.
3. Radius
zona terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pemerintah
daerah sesuai dengan kondisi di daerah tersebut berdasarkan jumlah ketersediaan
daya tampung berdasarkan ketentuan rombongan belajar masing-masing sekolah
dengan ketersediaan anak usia sekolah di daerah tersebut.
4. Bagi sekolah
yang berada di daerah perbatasan provinsi/kabupaten/kota, ketentuan persentase
dan radius zona terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterapkan
melalui kesepakatan secara tertulis antarpemerintah daerah yang saling
berbatasan.
5. Sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah
daerah dapat menerima calon peserta didik melalui:
a. Jalur
prestasi yang berdomisili diluar radius zona terdekat dari sekolah paling
banyak 5% (lima persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang
diterima;
b. Jalur
bagi calon peserta didik yang berdomisili diluar zona terdekat dari sekolah
dengan alasan khusus meliputi perpindahan domisili orang tua /wali peserta didik atau terjadi bencana alam/sosial,
paling banyak 5% (lima persen) dari total jumlah keseluruhan peserta didik yang
diterima. (Salinan Permendikbud 17 Tahun 2017).
Kabarnya
sistem zonasi hingga saat ini masih pro kontra, namun berdasarkan pengalaman
saya selama beberapa hari ini menjadi panitia PPDB menemukan fakta lain.
Bahwa
ada yang kontra, bahkan protes karena posisi rumahnya yang tidak masuk dalam
jangkauan zonasi sekolah yang dituju memang benar, namun jumlahnya sangat
sedikit.
Dari
ratusan calon peserta didik yang mendaftar, tidak sampai 10 orang yang
mengeluh. Itu artinya tidak sampai 1% yang mengeluhkan sistem ini. Bahkan sebagian
besar orang tua calon siswa baru menyambut gembira sistem ini.
Sumber pribadi |
Qadarullah,
tahun ini saya kembali ke sekolah lama dan dipercaya menjadi operator PPDB.
Bagai
dejavu.
Drama-drama
PSB atau sekarang dinamai PPDB seakan terulang kembali, serupa tapi tak sama.
Saya tak
disibukkan lagi dengan mencari calon siswa baru, pun tak juga sama dengan
peristiwa tahun-tahun awal, “bersembunyi” dari serbuan tetangga, keluarga, dan teman.
Cukuplah
berbincang dengan orangtua calon siswa baru, menginput datanya sesuai KK lalu
beres. Dari sini pula saya dapat menarik kesimpulan sementara, bahwa sistem
zonasi merupakan kabar manis bagi tetangga-tetangga saya, teman, dan keluarga.
Kenapa?
Simaklah
perbincangan mereka berikut ini.
“Sejak ada zonasi Bu, anak-anakku bisa tongmi
sekolah di sekolah negeri. Dulu kodong, diliat-liat ji orang masuk
sekolah negeri padahal itu sekolah ada di depan matata.”
“Apalagi ini ada zona prasejahtra, kita yang
kurang mampu bisami juga sekolah di sekolah negeri.”
“Enakmi itu kita ka dekatki sekolah
dari rumahta, bemanami yang jauh rumahnya kodong?”
“Kan masih adaji jalur prestasi. Ada
prestasi akademik ada juga non akademik. Kalau bagusji nilainya anakta
biar jauh rumahta bisaji juga masuk.”
“Kalau
anakta punya prestasi non akademik , seperti pernah ikut lomba dan juara
bisaji juga masuk.”
“Lomba
apa itu di?”
“Macam-macam,
seperti lomba mengaji, bidang olahraga, seni seperti menyanyi, baca puisi, menari,
dsb.”
Jujur,
saya terharu mendengar perbincangan mereka. Walaupun saya juga sering sedih melihat raut
kekecawaan di wajah para orang tua yang kebetulan tempat tinggalnya tak
terjangkau oleh sistem zonasi.
Begitulah
suatu peraturan, tidak selamanya bisa menguntungkan dan menyenangkan semua
orang, tapi setidaknya lebih banyak yang
terbantu daripada yang tidak terbantu.
Ini
kisah saya, bagaimana kisah kalian?
Komen
di kolom komentar yuk!
Terimakasih infonya, semoga sukses terus..
ReplyDeleteWah mbak dari Makassar nih. Saya juga dari TK sampe Kuliah adanya di Swasta semua, hahaha. Tapi saya senang aja, karena banyak bertemu teman dan guru yang memiliki pola pikir tidak biasa.
ReplyDeleteSuka baca tulisannya bunda Dawiah yang satu ini. Tentang pendaftaram sekolah, dibaca dari tulisan seorang guru. Owh ternyata seperti itu ya, ada dilema juga.
ReplyDeleteTentang zonasi, anak saya termasuk korbannya, hehe... Pilih SMA negeri favorit yang dekat dari rumah tapi ternyata Kartu Keluargaku masih ngikut di alamat ortuku yang memag agak jauh dari sekolah itu.
Qadarullah... Dia harus masuk swasta dan tentunya saya pilihkan yang unggulan dan berakreditasi A
Kalau sekarang yang saya lihat malah sekolah-sekolah swasta lebih dipilih daripada negeri karena dianggap lebih kompeten. Hehe.
ReplyDeleteBtw, itu yang keluarganya malah ikut main voli swag sekali ya wkwkwkwk
Saya ndak mau pusing berkontra ria. Saya anggap ujian dan takdir. Ini toh Kak, ortu murid pada mengurus Surat pindah jadi ada keterangan domisilinya tinggal dekat sekolah yang disasar. Bisa jadi bisnis itu oleh orang2 yang dekat sekolah rumahnya. 😁
ReplyDeleteEnak ya zaman dulu Bunda, nggak terlalu rempong dengan urusan penerimaan siswa baru, kalau sekarang semakin banyak aturan apalagi semenjak diberlakukan sistem zonasi jadi yah gitu deh. Menimbulkan banyak reaksi dan tanggapan dari berbagai kalangan terutama para ortu murid. Ada yang pro ada yang kontra,tapi yah semoga dengan sistem zonasi ini pendidikan di Indonesia bisa semakin maju dan terdepan.
ReplyDelete