Katanya,
jadi anak sulung itu berat. Ia memikul tanggung jawab sebagai pemimpin buat
adik-adiknya, ia harus menjadi suri tauladan, menjadi tolok ukur keberhasilan,
dan masih banyak lagi tuntutannya.
Kalau
merujuk arti kata “sulung” dalam KBBI,
maka sulung = ulung. Sedangkan Ulung adalah berpengalaman; mahir; terbaik.
ulung1 a sulung
ulung2 a berpengalaman; mahir; terbaik:
Mungkin
itulah sebabnya, anak sulung selalu diharapkan jadi yang terbaik, selalu mahir,
dan lebih dari adik-adiknya.
Saya
sering mendengar perbincangan mama-mama di perkumpulan arisan, di posyandu,
maupun di tempat lain, katanya;
“Kalau
anak sulung berhasil maka berhasil pula adik-adiknya.”
“Gara-gara
kakaknya malas ke sekolah, adiknya juga ikut-ikutan.”
“Saya
tekankan ke kakak (si-sulung), kamu itu contoh buat adik-adikmu. Kamu harus
jadi yang terbaik.”
Saya
pikir, itu terlalu berlebihan. Justru
saya beranggapan, anak sulung itu adalah anak “percobaan” Segala bentuk model
pengasuhan anak, dicobakan ke dia. Itu saya, entah Ashanti.
Tanpa
disadari, saya juga termasuk orang yang berpendapat seperti mereka. Misalnya,
masukkan anak ke pesantren.
Fandi
sebagai anak sulung menjadi ajang coba-coba. Ternyata gagal. Mengacu pada
kegagalan itu, saya tidak berani lagi masukkan adik-adiknya ke pesantren.
Fandi
saya ikutkan bimbingan belajar, saat ia masih SD. Ternyata ia sering stres
karena beban belajar yang tinggi, maka adik-adiknya tidak lagi saya ikutkan
bimbingan.
Fandi
suka main bola, maka saya suruh juga adik-adiknya untuk ikut main bola. Bahkan
saya tuntut Fandi agar ia mengajak adiknya main bola.
Beberapa
keputusan yang saya ambil berhasil, tapi tidak sedikit yang gagal. Saya baru
menyadarinya setelah anak-anak saya beranjak remaja.
Misalnya,
ternyata di antara mereka ada yang berpotensi mendalami ilmu agama. Tetapi saya
tidak mengarahkannya ke sana, hanya karena kegagalan si-sulung.
Ternyata
ada anak saya yang lebih pandai dari Fandi, tapi saya mengacuhkannya. Masih
banyak lagi, penyesalan-penyesalan kecil lainnya.
Ya
sudahlah, toh sejauh ini Fandi sudah cukup berhasil dalam menjalani perannya
sebagai anak sulung.
Baca juga tentang Fandi di sini
Baca juga tentang Fandi di sini
Jadi Pembela Bagi Adik
Tahun
2000, saya hijrah dari rumah lama ke rumah yang baru di Sudiang. Waktu itu,
Fandi baru kelas lima. Sedangkan dua adiknya masing-masing kelas tiga, dan
kelas satu. Sementara anak keempat masih TK.
Otomatis
mereka juga pindah sekolah. Dari sekolah yang berbasis agama ke sekolah umum.
Perubahan
lingkungan berdampak pada pergaulan dan perubahan sikap. Ada yang positif tapi ada juga negatifnya.
Positifnya,
mereka menjadi lebih mandiri. Tidak ada lagi mama saya yang selalu memanjakan
mereka. Tidak bisa lagi, kalau mau makan, langsung duduk dan makanannya sudah
tersedia di atas meja.
Di rumah
baru, saya menerapkan peraturan baru. Saya membuat jadwal kerja yang ditempel
di dinding. Mulai jadwal menyapu, mengepel, cuci piring, sampai jadwal jaga
warung.
Tanpa
diminta, Fandi tampil jadi ketua. Ia yang mengontrol jadwal kerja adik-adiknya.
Alhamdulillah, rumah selalu bersih. Kabar buruknya, hampir tiap hari saya
menemukan pecah beling di tong sampah. Kalau bukan gelas yah piring yang pecah.
Tak
masalah.
Punya empat anak laki-laki yang hampir seumuran itu ternyata mengundang juga anak
laki-laki lainnya. Teras rumah kami selalu dipenuhi anak laki-laki.
Mereka
berkumpul dan bermain di teras rumah atau di jalanan depan rumah.
Suatu
waktu, Denis anak tetangga datang mengadu. Katanya, ia dicurangi oleh Fandi
bersaudara. Maka saya sidang mereka.
“Apa
maksudnya itu Denis, kalian main curang?”
“Tidak
Mama, kita mainnya jujur tapi Denis tidak mau kalah, maunya menang terus.” Uci
menjawab sambil senyum-senyum.
“Memangnya
kalian main apa?” Saya penasaran.
“Begini
mama, tadinya Uci main kelereng sama Denis, hampir-mi kalah dan mau-mi
menangis.” Ical putra kedua mencoba menjelaskan.
“Terus?”
Saya mulai menangkap gelagat tidak baik.
“Jadi
saya ikut main, saya pinjam kelerengnya Uci, Ical juga saya ajak. Akhirnya
habis-mi kelerengnya Denis.” Tukas
Fandi.
“Intinya
diborongi Denis, hahaha….” Uci tertawa puas.
Sebenarnya
saya mau ketawa, tapi sedapat mungkin ditahan.
“Lain
kali tidak boleh begitu Nak, kasihan Denis.”
“Tergantung-ji Ma, kalau situasi genting, yaah kami
turun tangan.” Fandi menjawab tegas tanpa senyum. Beuh segitunya.
Kejadian
seperti itu sering sekali terjadi. Mereka bertiga kompak. Tapi anehnya, rumah
kami masih saja dipenuhi anak-anak.
Salah
satu permainan yang paling sering mereka mainkan adalah main bola-bolaan (saya
tidak tahu apa nama jenis permainan itu).
Alatnya
terbuat dari kertas karton yang dilipat sedemikian rupa sehingga bisa berdiri,
kertas itu diibaratkan orang. Jumlah kertas itu sebanyak 22. Lalu kertas-kertas
itu diatur di atas lantai. 11 kertas di sebelah kanan dan 11 lainnya di sebelah
kiri.
Ada
yang berperan sebagai penjaga gawang, penyerang, dan lainnya. Bolanya juga
terbuat dari kertas bentuknya bulat dan lebih kecil dari kelereng. Lucunya,
setiap kertas ditulisi nama-nama pemain bola.
Cara
bermainnya juga lucu, bola kecil disimpan di depan kertas karton lalu oleh
pemainnya, karton ditekuk agar bola terlempar ke depan. Begitu seterusnya
hingga tercipta gol.
Mereka
bisa bermain semalaman. Saya dan bapaknya sering jadi supporter dari salah satu
tim. Hehehe…
Fandi Gagal Kuliah S2
Sesaat
sebelum Fandi diwisuda, ia berbisik.
“Ma,
bisa-ji saya lanjut S2?”
“Maunya
lanjut di mana?”
“Rencananya
lanjut ke ITB.” Jawabnya hati-hati.
“Insya
Allah, selama mama dan bapak masih hidup dan masih kerja Fandi boleh kuliah.”
Fandi
tersenyum dan memeluk pundak saya.
Subuh
di Yogyakarta, saya mempercepat salat subuh karena sudah tidak khusuk lagi
mendengar handpone berdering tiada
henti. Saat melihat di layar, 30 kali panggilan tak terjawab. Deg!
Saya
lalu menelpon balik. Di seberang sana terdengar suara parau campur tangis.
“Kak,
rumah mama kebakaran!”
“Innalillah,
bagaimana keadaan mama dan semuanya?” Teringat mama saya yang sudah sepuh.
“Selamat-ji semua. Eh rumah-ta juga sudah mulai terbakar!” Teriak adik saya. Saya hanya
melongo.
Suatu pagi di rumah pengungsian, pascamusibah kebakaran, Fandi mendekati saya dengan wajah masygul.
“Ma
jangan-mi saya lanjut S2, cari-ma dulu pekerjaan.”
Fandi
paham, kalau semua tabungan kami harus dikuras demi membangun kembali rumah
yang telah rata dengan tanah. Apalagi masih ada adiknya Uci yang sementara
kuliah di ATKP.
Terima
kasih atas pengertianmu Nak, kami terpaksa ingkar janji. Bukan karena tak mau
tetapi keadaan tidak memungkinkan.
Fandi Jatuh Cinta, Saya Patah Hati
Tiba-tiba
saya melihat Fandi memasang foto perempuan cantik di facebooknya. Dengan caption
Limited edition.
Maka
meluncurlah kalimat-kalimat nasehat di kolom komentarnya. Teman-temannya ikutan
mengompori. Tak sekalipun Fandi membalas komenku.
Untungnya Itu hanya terjadi di dunia maya, di dunia nyata kami tak
pernah membahasnya.
Saat
itu Fandi masih berstatus mahasiswa. Saya dan bapaknya sudah tekankan, tidak
boleh pacaran. Kalau mau pacaran, berhenti sekolah dan langsung menikah.
Anak-anak
saya tahu bahwa ada aturan tidak tertulis yang sejak kecil ditanamkan ke
mereka, bahwa mereka tidak boleh pacaran, tidak boleh membawa teman perempuan
ke rumah yang bukan muhrim, tidak boleh
menikah sebelum bekerja, jika saatnya
tiba harus mencari pasangan yang seiman, dan berbagai aturan lainnya.
Mungkin
itulah Fandi tidak berani membahas soal foto di facebooknya. Tetapi saya tahu,
ia sudah jatuh hati kepada gadis di foto itu.
Saat
Fandi diterima bekerja di salah satu perusahaan di Bandung, saya pertanyakan
gadis yang ada di foto itu. Dengan hati-hati Ia menjelaskan siapa namanya,
asal-usulnya dan segala hal tentang gadis itu.
Duhai,
anakku betul-betul sudah jatuh cinta. Tapi aneh, saya merasa patah hati. Merasa diduakan dan tak siap menerima
kenyataan, kalau ada perempuan lain di hatinya.
Namun
begitu, saya harus menerima kenyataan. Si sulung semakin dewasa. Lambat atau
cepat, ia akan membina rumah tangga.
Gadis Gorontalo Pujaan Hati
“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji,
dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), sedangkan
perempuan-perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang
baik untuk perempuan-perempuan yang baik (pula). ....”
(QS: An-Nur ayat: 26)
Tak ada
keraguan atas janji Allah itu, dan saya yakin Fandi adalah laki-laki yang baik
maka ia berhak mendapatkan perempuan yang baik pula.
Setiap
malam saya berdoa, mohon petunjuk atas pilihannya. Jika nama gadis itu yang tertulis di Lauhul Mahfudz sebagai jodoh
Fandi, maka mudahkanlah urusannya.
Jika bukan, maka berilah anakku kesabaran menerima
takdirnya.
Alhamdulillah,
doa-doaku yang melangit ke Arsy dikabulkan.
Kami bisa bersilaturahim ke
Gorontalo sekaligus melamar gadis pujaan hati Fandi. Silaturahim itu berjalan
hikmat dan penuh kekeluargaan.
Gadis
pujaan Fandi akan menjadi anak perempuan kedua dalam keluarga kami.
Hadiah Untuk Fandi
Bapaknya
bertanya, hadiah perkawinan apa yang bagus diberikan kepada Fandi?
“Tak
ada hadiah berupa harta benda. Tetapi meminang perempuan beriman nan cantik
untuknya adalah hadiah terbesar buat Fandi.”
Satu-satunya
benda yang saya berikan adalah buku berjudul “ Menggapai Samara” sembari menitipkan
pesan.
“Kamu telah memikul tanggung jawab sebagai suami, maka
hidupmu sekarang bukan lagi untuk dirimu semata, melainkan untuk berdua dan
kelak untuk anak-anakmu”
“Baik buruknya istrimu, ditentukan oleh caramu
memimpinnya, maka tuntunlah dengan kasih sayang, siangi dengan cinta.”
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri),
karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya ….”
(QS: An-Nisa; 34).
Sehat
terus Nak, jadilah keluarga sakina mawaddah warahmah.
Sampai kapanpun kamu tetap anakku, maka doaku akan kebahagiaan dan kesuksesan tak akan pernah berhenti untukmu.
sukaku baca cerita-cerita begini ta kak. bangga dan bahagia pasti anak-anak ta ini baca kisah perjuangan seorang Ibu membesarkan mereka. saya menunggu tulisan lain ta, kak.
ReplyDeleteIye semoga saja mereka bangga. Kisah ibu tentang anaknya tak akan pernah habis, walaupun lebih seringnya hanya dalam ingatan. Terima kasih ya sudah mampir.
ReplyDeleteBagus sekali pola didiknya kak Dawiah dan suami tentang "tidak boleh pacaran" itu. Dan syukurnya karena anak-anaknya penurut semua.
ReplyDeleteMungkin pacaranji juga tapi nasembunyikanki ka mallaki dikasi berhenti sekolah. Setidaknya tidak napamer-pamerki atau boncengan2ki di depan mata apalagi nabawa ke rumah. Tidak bisa juga terlalu dijamin anak-anak zaman now, hehehe.
DeleteMasya Allah.
ReplyDeleteTerharuuu.
Baarakallahu fiikum.
Samara ya Fandi.
Aamiin. Terima kasih doanya Dek
DeleteBeruntung sekali Fandi dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua yang penuh pengertian dan kasih sayang. Tidak heran kalau dia tumbuh jadi anak yang pengertian dan bisa diandalkan.
ReplyDeleteSuka sekali saya baca cerita ini.
Alhamdulillah kalau Daeng Ipul suka. Mungkin karena itu ditulis dari hati yang tulus.
DeleteMasya Allah Bun, penuh lika-liku. Ooh tyt gt ya Bun, ada rasa cemburu juga di hati org tua ketika anaknya mulai menyukai wanita lain... Aku belum merasakan sih, so far masih menikmati anak kecilku, ntah kalau besar dia mulai suka dengan laki2 mungkin ayahnya yg cemburu... hihuu
ReplyDeleteYap, ayahnya yang akan baper. hihihi...
DeleteKuterharuuuu. .. Semoga anak anakta menjadi anak sholeh yang memuliakan kaka dan ayang beib, sehat selalu, sukses dalam karir dan mendapatkan jodoh muslimah sholeha dan selamanya Samawa. Deh anak laki laki semua. Sama ka itu di rumahku juga selalu jadi tempat ngumpul anak mudayya.
ReplyDeleteAamiin. Iye di anakta laki-laki semua. Jangan khawatir, nanti kalau sudah menikahmi adami juga anak perempuanta.
DeleteAlhamdulillah, Saya belajar banyak dari tulisan ta kak sebagai ibu yang anaknya masih kecil. Harus siap mental juga ini.
ReplyDeleteSetujuka dengan pernyataan kalau anak sulung jadi percobaan pola asuh, secara Kita baru pi juga belajar jadi orang tua masih trial and error :D meskipun kemudian ternyata pola asuh yang diterapkan sama sulung dan dianggap berhasil, ternyata tidak bisa diterapkan plek copy paste sama adeknya ya kak, karena setiap anak unik dan berbeda.
Betul sekali, setiap anak memiliki kepribadiannya masing-masing.
DeleteBeruntunglah emak zaman now, banyak ilmu yang bertebaran dan gampang diakses. Kalau zamanku apalagi pernah tinggal di desa serta minim fasilitas, maka cara mendidik anak itu hanya mengikuti kata hati dan insting saja. Sesekali melihat caranya orang tua sekitar.
Serasa ikut patah hati waktu baca bagian anakta jatuh cinta. Memang orangtua dih, kak, sampai kapanpun anak-anak tetap akan dianggap sebagai anak-anak. Dan nda rela rasanya kalau mereka menbagi hatinya untuk orang lain.
ReplyDeleteIye tapi bagaimanapun harus diikhlaskan. Dunia tak akan berhenti, terus bergerak
DeleteWah Masyaallah, Barakallah untuk anak sulungnya. Alhamdulillah akhirnya menikah. Saya baper yg Fandi Jatuh Hati, Saya Patah Hati emang pasti seperti itu ya Ibu. Jadi lirik suami nih, kira2 ibunya jg patah hati enggak ya hehe
ReplyDeletePatah hati sesaat saja tuh Mbak, sesudahnya sih aman terkendali hahaha
DeleteSubhanallah, keren kak fandy. Apa saya kelak patah hati juga ya kalo si junior dewasa terus memiliki gadis idaman, duh.
ReplyDeletehehehe...saya aja kali yang lebay. Tapi lihat anak nikah itu rasanya gimana gitu. Krenyes-krenyes rasanya.
DeleteJadi ingat sulungku, cowok juga. Semoga anak-anak kita menjadi anak-anak yang sholeh, ya,Bu...
ReplyDeleteWah mantunya cantik Bunda... Kayak Nagita Slavina hehe.. Semoga bahagia selalu ya Bunda... amin
ReplyDeleteBundaaa ... Aku terharu sekali membacanya. Tahu nggak, sih? Ini seperti membayangkan anak lelakiku yang nanti jatuh cinta dan aku merasa diduakan. Ah, tapi bagaimana pun cepat atau lambat, jika Allah berkehendak, itu akan terjadi juga, yaaa. Salam hangat untuk keluarganya ya, Bun.
ReplyDeleteMasya Allah Bunda..aku suka bacanya. Bisa buat pelajaran aku jadi ibu
ReplyDeleteAlhamdulillah Abang Fandi sudah bekerja dan menikah. Lega pasti rasanya sudah mentas satu anak ya Bunda...
Aku jadi bayangin nanti kalau patah hati dua kali karena ada perempuan lain di hati 2 anak lelakiku huhuhu...Mesti siap-siap dari sekarang ini hihihi
Baarakallahu fiikum untuk Dek Fandi :)
ReplyDeleteSeneng baca kisah ini, apalagi tentang kisah si sulung. Saya sendiri anak sulung dan sekarang sedang terus mengawal anak gadis sulung. Bedanya, dia sendiri yg minta ke pesantren Tahfizh, Bun. Sejauh ini sih cocok buat dia. Tapi setuju juga: ga semua anak bisa dipesantren-kan.
MasyaAllah...saya kok nangis baca cerira ini ya, bun.
ReplyDeleteSepertinya anak sulung, laki laki pisan, membawa tanggung jawab besar di pundaknya walaupun orang tua tetap menyayanginya...
Halo, aku anak sulung
ReplyDelete