Perlahan
subuh beranjak. Mentari menyembul malu-malu dari balik awan.
Fika
beranjak dari atas sajadahnya. Sejak tengah malam ia duduk di atas sajadah
itu. Perasaannya gelisah. Untuk menepis
kegelisahannya, Fika meninggalkan peraduannya lalu mengerjakan salat malam diteruskan dengan
mengaji. Ia sudah biasa melakukan itu. Terlebih lagi jika suaminya sedang tidak
ada di rumah.
Sesaat
kemudian ia meraih handponenya.
Beberapa pesan masuk melalui whatsApp.
Satu
persatu pesan itu dibuka.
Tiga pesan gambar dari pengirim yang tidak
dikenalnya. Keningnya berkerut, tidak biasanya ia mendapat kiriman gambar
maupun foto dari nomor yang tidak dikenalnya. Ia ragu membuka pesan itu. Tetapi
rasa penasarannya tak dapat ia bendung. Jantungnya berdebar. Jangan-jangan foto
porno. Begitu yang ada di pikirannya. Akhirnya ia memutuskan, ia harus melihat
pesan itu.
Perlahan
ia menekan gambar pertama, terlihat bulatan kecil berputar perlahan menandakan
gambar sedang diunduh.
Foto
terlihat jelas.
Deg!
Foto suaminya
sedang tertidur di atas ranjang, telanjang dada. Bagian perutnya ke bawah
ditutupi selimut warna putih. Jantung Fika berdegub kencang. Kenapa suaminya
mengirim foto?
Ah …
bukan!
Foto itu bukan kiriman suaminya, nomor pengirim pesan bukan nomor
suaminya. Lalu siapa yang mengirim? Terjadi dialog dalam batinnya. Sebaiknya
kubuka saja pesan kedua, siapa tahu bisa menjawab rasa penasaranku. Fika
membatin.
Dengan
menahan debaran di dadanya, Fika menekan layar handponenya tepat di atas pesan gambar yang kedua. Rasanya lama
sekali menanti hasil unduhan foto.
Unduhan
selesai. Foto kedua terbuka jelas. Qory tersenyum lebar dengan pose dan posisi
yang sama dengan suaminya. Dada Qory terlihat jelas. Terbuka. Jantung Fika seakan berhenti berdetak sepersekian
detik. Ia mengamati foto Qory dengan saksama. Ia merasa foto pertama dan foto
kedua ada hubungannya. Tangannya gemetar. Sungguh gemetar. Dentuman di dadanya
bagai dihantam godam.
Apakah
Qory yang mengirim foto itu? Apa hubungannya dengan foto yang pertama?
Tiba-tiba ingatan Fika berkelabatan pada pertanyaan Qory beberapa hari lalu.
“Fik
mana yang kamu pilih, suamimu selingkuh lalu berzina atau berpoligami?”
Waktu
itu Fika gelagapan menjawab, “Eh aku tidak tahu. Dua-duanya tidak nyaman.”
Mungkinkah
foto-foto itu adalah jawaban atas pertanyaan Qory?
Ya
Allah, kalau itu benar-benar terjadi, apa yang harus aku lakukan? Tangan Fika
lemas tetapi menggenggam dengan keras handponenya. Apakah jawaban yang
sebenarnya ada pada pesan gambar yang ketiga?
Fika
menutup mata. Tangannya gemetar. Jari-jarinya seakan kaku. Perlahan ia menekan
pesan gambar ketiga. Bulatan kecil terlihat berputar.
Gambar
diunduh.
Fika
tidak berani melihat proses itu, ia menutup mata sambil menahan debaran dadanya
yang semakin berdegup kencang. Fika yakin foto itu sudah terunduh, tetapi ia
takut melihatnya. Sungguh ia sangat takut.
Namun rasa keingintahuannya memaksa ia harus melihat foto itu.
Perlahan
ia mengintip foto ketiga. Matanya nanar melihat foto itu. Lambungnya serasa
perih.
Hatinya
perih.
Sekujur
tubuhnya lemas. Ia terduduk di pinggir ranjang dengan badan limbung.
Fika
meraih bantal lalu ia benamkan wajahnya di situ. Ia menangis dan meraung. Ia
berteriak sekencang-kencangnya. Teriakannya terbenam dalam bantal. Semakin
keras ia berteriak semakin keras pula ia
benamkan wajahnya ke dalam bantal.
“Oooo
Daeng… huuu..huuu.. Daeng!” Tubuh Fika
menggigil. Benar-benar menggigil menahan sakit luar biasa. Air matanya
menganak sungai. Fika meninju-ninju kasur, bantal dan dadanya sendiri.
Hati
siapa yang tidak sakit? Jiwa siapa yang akan kuat? Tubuh siapa yang tidak
gemetar?
Melihat
foto suami berpelukan dengan sahabatnya sendiri!
SATU
SELIMUT DI ATAS RANJANG!
“Daeeeeeng!
“ Qory
…!
“Kalian
kurang ajar!”
“Biadab
kalian!”
Fika berteriak.
Mencengkeram handpone. Ia menggerung marah. Bagaikan banten yang
terluka. Ia membuka lemarinya, mengacak-acak isi lemari itu. Fika menatap foto suaminya yang terpajang
manis di dinding kamarnya.
“Fotomu
tidak pantas dipajang di kamar ini” Fika mendesis marah.
Sangat
marah!
“Pyaaar!
Bingkai
foto menghantam dinding ruangan.
************************
Malam
semakin mengkelam demikian pula hati Fika.
Seharian
menahan sakit yang tak terperikan, sungguh itu menguras energinya. Ia tertidur
di atas sofa dengan mata sembap. Untunglah
kedua anaknya sedang berlibur ke rumah neneknya sehingga tidak melihat
keadaannya.
Derik
pintu pagar membuatnya terjaga. Perlahan ia bangun dan berdiri. Mengintip dari
balik gorden. Bakti pulang.
Dadanya
seakan menggemuruh.
Sekuat
tenaga ia menahan diri agar penghuni rumah lain tidak mengetahui perasaannya.
Bagaimanapun, ia harus menjaga harga diri suaminya terutama harga dirinya.
Jika
suami selingkuh, bukan hanya menorehkan perih tetapi juga rasa malu. Malu
karena merasa tidak dicintai lagi. Malu karena merasa tidak dibutuhkan.
Tidak
dihargai.
Raut
muka Bakti menyiratkan kelelahan. Ia menghindar bertatapan dengan isterinya. Rasa bersalah menghantuinya. Sekalipun Bakti sadar
kalau ia sudah diperdaya oleh Qory. Ia dan Qory tidak melakukan apa-apa. Namun
mendapati dirinya terbangun di dalam kamar hotel hanya mengenakan celana
pendek, itu sudah cukup membuatnya merasa sangat cemas. Apa yang akan
dikatakannya kepada Fika, jika hal itu ia ketahui.
Perlahan
Fika menyentuh tangan suaminya. Jemarinya meremas lengan kokoh suaminya, lengan
yang selalu ia rindukan, lengan yang selalu memberinya kedamaian kala bersandar
atau direngkuh dalam pelukan. Tetapi tidak lagi saat ini.
Terbayang,
lengan kokoh itu merengkuh bahu orang lain, memeluknya dengan sayang.
Beuuh…tanpa sadar, rahangnya mengatup keras. Jiwanya kembali tergoncang.
“Sejak
kapan Daeng selingkuh sama Qory?” Fika bertanya tanpa basa-basi, membuat Bakti
gelagapan.
“Apa
maksudmu Ndi?” Bakti balik bertanya, pura-pura tidak mengerti. Hatinya diliputi
kecemasan. Fika tidak langsung menampik pertanyaan suaminya, ia malah meraih telepon
genggamnya. Dengan tangan gemetar ia membuka galeri foto lalu disodorkan ke
Bakti.
“Lihat maki sendiri Daeng.” Suara Fika parau.
Bakti
melihat foto-foto itu dengan mata membulat. Ia geram. Ini pasti perbuatan Qory.
“Ini
tidak seperti yang Ndi bayangkan.”
“Kalau
Daeng melihat foto orang lain seperti ini, apa yang ada dipikiran ta?”
Jawaban seperti ini sudah diperkirakan Fika.
“Itu
tipu dayanya Qory. Ia memberiku minuman sehingga aku tertidur, selanjutnya aku
tidak tahu lagi apa yang ia lakukan.”
“Yang
pastinya, aku tidak selingkuh dengan siapapun apalagi dengan Qory. Percayalah
Ndi, tidak ada orang lain yang bisa menggantikan ta’ di hatiku.” Bakti masih berusaha menenangkan hati isterinya.
Fika
tidak bergeming. Sakit hatinya tidak bisa diobati hanya dengan kata-kata rayuan
Bakti. Dahulu kata-kata itu sudah bisa menerbangkan angannya ke awan-awan,
membuatnya jatuh hati lalu ikhlas meladeni suaminya dengan sepenuh hati.
Itu
dulu, sebelum foto-foto itu memorak-porandakan semua bangunan cintanya.
“Jika
itu memang tipu dayanya Qory, buktikan kepadaku, mulai hari ini Daeng tidak
bekerja sama lagi dengan dia.” Fika memcoba berdamai dengan hatinya.
“Pasti
akan kubuktikan, Aku sudah memecat dia sejak aku di kamar itu.” Lega hati
Bakti, setidaknya ia merasa dimaafkan dan diberi kesempatan untuk memperbaiki
kesalahannya.
Namun
jauh di lubuk hati Fika, sakit itu tidak begitu saja hilang. Ia hanya mencoba
membujuknya agar tidak membuatnya meraung. Toh saat ini ia tidak bisa memutuskan
apapun. Ia masih sibuk dengan luka hatinya.
Beginikah luka yang dirasakan
para istri yang suaminya mendua?
Begini perihkah hati
perempuan yang suaminya berselingkuh?
To be continued ...
Catatan:
Daeng = Kakak, (bahasa Bugis/Makassar)
Andi = Adik
Ndi = panggilan singkatan untuk kata Andi dalam bahasa Bugis/Makassar
Daeng = Kakak, (bahasa Bugis/Makassar)
Andi = Adik
Ndi = panggilan singkatan untuk kata Andi dalam bahasa Bugis/Makassar
Aduuh...ikut2an deg degan bacanya Mba Dawiah..keren ceritanya
ReplyDeleteAlhamdulillah, berarti sudah dapat sedikit sensasinya, wkwkwk...
DeleteIkut emosi ka bacai kk... #haduh
ReplyDeletePenasaran sama lanjutannya ^_^
ReplyDeleteSabar, tunggu kelanjutannya
DeleteWaduh makin seru aja nih...
ReplyDeleteAyo Bunda bikin kumpulan cerpen atau novel sekalian :) Bagus ini cerita!
Iya Mbak, lagi belajar nih nulis novel. Terima kasih sudah mampir.
DeleteKalau aku jadi Fika, aku udah lempar itu hp, bukan lagi dipegang.. hehe
ReplyDeleteTapi, gak mau ah jadi Fika. Qiqi
Jangaaan jadi Fika, BERAT.
Deletecukup dalam cerita saja, hehehe
Whuaa bikin pensaran nih Bunda, ayo ditunggu lanjutannya ya.. Teenyata berbakat nih Bunda bikin cerita fiksi.
ReplyDeletetidak sabarku bunda sm kelanjutan ceritanya...
ReplyDeleteikut deg-degan dan penasaran baca ceritanya kalimat demi kalimat, penasaran sama kelanjutannya bunda hahahhaha
ReplyDelete