Selalu
mesra. Itulah yang dijaga Bakti, katanya demi menjaga keharmonisan keluarga.
Tentu saja Fika setuju dengan suaminya. Diperlakukan seperti itu melambungkan
perasaan Fika, merasa dicintai setengah mati. Tidak ada lagi yang perlu
dikhawatirkan. Rumah tangganya dipenuhi kasih sayang, kebutuhan finansial
tercukupi, anak-anak yang sehat dan pandai.
Sempurna.
Sore yang basah. Sisa-sisa air hujan masih
menggenangi jalan. Bagi warga Makassar,
turunnya hujan adalah berkah yang tak terhingga. Cuaca kota Makassar yang
suhunya bisa saja mencapai 35 derajat celcius atau lebih penyebabnya.
Fika
bergegas masuk ke rumahnya lewat pintu samping. Pintu yang menghubungkan antara
garasi mobil dengan ruang tengah. Setengah berlari ia masuk kamar untuk
mengganti bajunya yang basah. Karena terburu-buru, tadi siang ia tidak periksa
bagasi mobilnya. Ternyata payung yang selama ini selalu ikut di mobilnya tidak ada.
“Oh
iyah kemarin kan Qory pinjam payung itu.” Fika menggumam setengah menggerutu.
Akibatnya
Fika basah saat membantu anaknya menyeberangi jalan. Jilbabnya digunakan untuk
menutup kepala anaknya.
Fika
sudah rapi lagi, bajunya yang basah
sudah melayang ke mesin cuci. Sejenak ia melihat handpone, ada pesan dari suaminya melalui whatsApp.
“Andii, jangki lupa antarki ana’ta les piano
na ... “ Bakti selalu menulis sesuai dialeg yang biasa mereka gunakan
sehari-hari.
“Ingatki juga, makan siang. Ka kita
itu selalu telat makan, ingat maag ta
nanti kambuh lagi.” Ditambah emotikon love.
Hati
Fika berbunga membaca pesan itu. Dengan lincah ia membalas pesan suaminya.
“Iye Daeng, baruka ini pulang antarki
ana’ta.” Fika membalas ditambah emotikon love.
Saat
ia bersiap ke dapur menemui asisten rumah tangganya, tiba-tiba bel rumahnya berbunyi.
“Sitti,
tabe lihatki siapa yang datang!” Seru
Fika. Yang dipanggil bergegas keluar melewati ruang tengah. Bi Siti belum
sampai di ruang tamu, pintu sudah terkuak. Kepala Qory menyembul sambil
berseru.
“Hai
Sitti!”
“Astagfirullah,
kagetku.” Bi Siti berseru dalam dialeg khas Makassarnya sambil mengusap dada.
“Hi..hi..hi santai maki
saja.” Bukannya minta maaf, Qory malah cekikikan melihat ekspresi Sitti.
Fika
hanya geleng-geleng kepala melihat kejahilan sahabatnnya itu
“Hai
Qory, masuk yuk!” Seru Fika dari balik pintu kamarnya.
“Aku
sudah duduk kale, hehehe…” Jawab Qory santai sambil menghempaskan pantatnya di
atas sofa yang empuk.
“Ha..ha…ha..,
belum juga dipersilahkan, eeh..sudah nyosor duluan.” Canda Fika sambil tergelak.
“Maaf
ya Fik, Sitti kelamaan buka pintunya,
yaa… aku langsung masuk saja”
Fika
dan Qory adalah dua perempuan yang seumuran, mereka bersahabat sejak masih SMA.
Qory lebih sering berkunjung ke rumah Fika bahkan menginap. Lain dengan Fika,
ia paling malas keluar rumah apalagi berkunjung ke rumah temannya. Sejak tamat
SMA, mereka sudah tidak bertemu lagi. Fika pindah ke kota lain mengikuti orang tuanya.
Hampir
10 tahun mereka terpisah. Hingga akhirnya dipertemukan lagi melalui reuni
sekolah. Persahabatan itu kembali terjalin.
Qory
asyik melihat foto-foto yang tertata rapi di dinding ruang tengah. Matanya
terpaku pada satu foto ukuran yang paling besar, foto pernikahan Fika.
Fika
menyentuh halus bahu sahabatnya itu,
“Kapan
kamu nikah? Ayolah Ry … jangan terlalu memilih.”
“Aku
tidak pemilih Fik, jodohnya saja yang belum ketemu.” Qory menghela nafas.
“Lah
… yang datang waktu reuni bersama kamu itu siapa? Bukannya pacar kamu Ry?”
“Iya,
ia itu memang pacarku, tetapi kami sudah
bubar.” Lesu Qory menjawab pertanyaan sahabatnya
“Beuh..
kenapa? Kelihatannya dia baik, sopan, dan ganteng pula.”
“Ah,
bagiku ganteng urusan kesekian, yang penting mapan dulu. Kalau hanya
bermodalkan cinta saja, percuma Fi.
Bikin pusing saja nantinya.”
Mata
Fika sedikit membelalak.
“Ternyata
waktu tidak bisa merubah pandanganmu tentang laki-laki yah Ry.” Kini Fika yang
menghela nafas.
“Kamu
enak Fik, dapat suami kaya, punya bisnis sukses, lumayan ganteng lagi.”
“Ry,
awal kami menikah suamiku bukan
siapa-siapa. Dia masih karyawan biasa.”
“Tetapi
kan sudah punya modal, orangtuanya pemilik perusahaan itu yah tinggal diteruskan
saja.” Bantah Qory.
“Iya
memang, tetapi masuk ke perusahaan orang tuanya itu tidak langsung diberi
jabatan, ia harus melalui proses dari awal dahulu, Jadi karyawan biasa, gaji
kecil, diuji dahulu dan seterusnya hingga ia bisa berada di posisi sekarang.”
“Nah,
posisi yang seperti itulah yang kumau. Aku malas ah kalau harus mulai dari
awal. Bersusah-susah. Aku sudah capek Fik, jadi orang susah.” Qory memotong
pembicaraan Fika.
Fika
hanya menggeleng-geleng sambil tersenyum. Mencoba memaklumi prinsip sahabatnya.
Bagi
Qory, kehidupan rumah tangga sahabatnya itu bikin iri semua orang, tak
terkecuali dirinya. Jauh di dasar hatinya, ia mendambakan kehidupan yang serba
berkecukupan seperti kehidupan keluarga
Fika.
“Fik,
sebentar malam kita keluar yuk!” Qory mengalihkan pembicaraan.
“Kemana?”
jawab Fika acuh.
“Kita
ke café, sekali-sekali kamu senang-senang sedikitlah. Masa kegiatan kamu hanya itu-itu saja. Apakah kamu
tidak bosan?
“Kadangkala
bosan juga Ry, tetapi ini konsekuensi
atas pilihanku sendiri.
“Santailah
sedikit, kita ke café atau ke mall, atau aku kenalkan kamu ke teman-temanku
yang heboh. Kamu bisa menikmati keseruan bersama mereka.” Bujuk Qory
Fika
mnengangguk. “Ok sebentar malam, kamu jemput aku yah, mumpung Daengku masih di
Kalimantan.
Sejak
hari itu, Fika menemukan dunia yang lain.
Bersenang-senang
dengan teman-teman baru yang dikenalkan Qory, berjalan-jalan ke mall, belanja,
ke salon, dan sesekali ke kafe.
****************************
Dunia
baru. Teman baru dan penampilan baru. Fika makin cantik.
Kulitnya
semakin mulus karena rajin dirawat di salon. Belum lagi dibalut dengan
baju-baju yang mahal dan trendi.
Sementara
itu, Bakti bergelut dengan pekerjaannya yang kian hari kian menumpuk.
Kadangkala ia duduk termangu melihat penampilan isterinya yang semakin cantik
dan modern. Bakti semakin jatuh cinta.
Tetapi
waktu untuk bersama isterinya semakin tergerus oleh kesibukannya yang menumpuk.
Selain itu, di kantor Bakti selalu ditempel sama Qory. Dengan berbagai alasan,
Qory berusaha menghalangi Bakti untuk pulang cepat.
Entah
bagaimana caranya, tiba-tiba Qory dipindahkan ke kantornya. Menjadi utusan Pak
Rifan, rekan bisnisnya. Katanya untuk memperlancar hubungan kerja sama mereka,
maka Qory menjadi sekertarisnya. Bakti tak kuasa menolak.
Ikhlas
atau tidak, Bakti terpaksa selalu bertemu dengan Qory. Bagi Bakti, Qory terlalu
agresif, dan ia tidak suka perempuan dengan tipe seperti itu. Namun apa mau
dikata, mereka satu tim.
Qory
cukup cerdas dan sigap mengimbangi gaya kerja Bakti. Dan itulah salah satu
alasan Bakti tetap mau bekerja sama. Walaupun di pikirannya terkadang muncul
kengerian yang ia sendiri tidak dapat menganalisanya dengan baik.
Itu
tipu daya Qory. Ia menggunakan segala cara untuk menarik perhatian Bakti.
Baginya laki-laki seperti Bakti lah yang pantas menjadi suaminya.
Soal
Bakti suami sahabatnya. Tidak masalah baginya.
Toh
ia akan rela berbagi suami dengan Fika, yang penting Qory bisa icip-icip
kesuksesan Bakti. Kalau Fika tidak mau, maka ia harus berjuang sekuat
kemampuannya melawan Qory.
“Maaf
Fik, kamu bukan lawan yang tangguh buatku.”
Lumayan menghibur mbak ceritanya....sempat penasaran juga Bakti mau tidak ya, sama pelakor?
ReplyDeletepenasaearnku sm kelanjutannya kam
ReplyDeletepenasaran sama kelanjutannya kak
ReplyDeleteAwalnya manis.. tapi kok kesana sananya ngeri sih huhuhuhu... Bisa skalimi bikin novel kak.. keren keren keren. Saya suka saya suka.
ReplyDeleteKak Dawiah, aku nge-fans padamu deh. Keren sekali tulisan ta. Mauka belajar nulis seperti ini dong, ajarka nah ? 😊. Aku menunggu lanjutan ceritanya, dumba-dumba apa yang akan dilakukan oleh qory.
ReplyDeleteKondisi seperti tsb dimasa sekarang ga sedikit memang, saya terkejut seorang cewek dg gampang meminta segala macam barang ke pacarnya..
ReplyDeleteKadang siibu juga ga ketinggalan minta...hehehe. saya malu mengetahui ada orang seperti itu.
Wah, Bu Dawiah udah nyer-bung aja nih. Bisa nih dilanjut ke novel :)
ReplyDeleteKepoooo iih sama lanjutannya...
ReplyDeleteSuka kalimat ini,"sore yang basah", kebayang habis hujan rintik di sore hari trus ada teh hangat dan pisang goreng. Eh... kok larinya ke makanan, jaga sembung bawa golok hahahaa... btw suka bangat ceritanya Bun... lanjutkaannn
ReplyDeletesukaaaa sama ceritanya!
ReplyDeleteDitunggu lanjutannya Bunda, penasaran saya
Ini mi yang namanya "Teman Makan Teman" ��
ReplyDeleteAlamak,,, Bunda satu ini multalented banget ya. Non fiksi ok, fiksi pun jago. ini endingnya gimana, Bun? penasaraaannn hehe
ReplyDeleteBunda Dawiaaah, ditunggu yaa kelanjutannya. Pelajaran berharga yang bisa dipetik, sebaiknya jangan mengundang pelakor datang ke rumah ya Bunda hehehe. Mengerikan.
ReplyDeleteahhh, penasaran kak dengan ceritanya...
ReplyDeletekenapa saya ballisi sama ini qory di' hahahah
Aah..kenapa berhenti...!!hihihi
ReplyDeletePadahal ceritanya lagi seru-serunya. Etapi kalau dari sisi ceritanya, sepertinya itu cerita yang banyak terjadi ya...ngeri juga ngebayangin akhir cerita ini.
Dilanjut mbak, duh urusan pelakor gk ada habisnya buat dijadiin ide cerbung gini. Penasaran endingnya
ReplyDeleteMasya Alloh. Tadinya kirain mau baca artikel, rupanya fiksi. Bener2 mengaduk perasaan pembaca. Hayuukk, mana kelanjutannya? 😁😁
ReplyDeleteDuh, cerbungnya bikin gemes, hehe. Pemilih tapi yg dipilih malah misua orang. Ditunggu lanjutannya ya, Bund 😊
ReplyDeletekarakter qory sejak awal terbangun sudah 'liar'.. :)
ReplyDeletei see a potential twist
Takukka baca lanjutannya hahaha. Nanti direbut ki Bakti. Dddeh.
ReplyDeleteBtw, saya sekarang ndak betah baca fiksi, Kak, bagus sekali pun. ndak tahu kenapa. Sudah lama saya tidak baca fiksi tapi sekarang lagi ada buku yang lagi pelan-pelan saya baca. Buku fiksi yang dikasih sama seorang teman, yang dia tulis sendiri. Untung cerpen dan unik ki, jadi masih bisa saya baca.