Profesi
guru pada era 80-an bukan profesi yang keren. Sangat sedikit peminatnya, bahkan cenderung dicemooh. Pada
umumnya, pelajar-pelajar yang bersekolah di kota menganggap menjadi guru itu kampungan. Mungkin karena
waktu itu, IKIP lebih banyak diminati
oleh pelajar dari daerah. Entahlah.
Ketika
tamat SMA, beberapa teman ramai-ramai mendaftar di perguruan tinggi terkeren di
kotaku. Aku juga mencoba, sekalipun pilihan itu tanpa restu bapakku. Sambil
mendaftar di perguruan favorit itu aku juga mendaftar di Institut Keguruan Ilmu
Pendidikan. IKIP Ujung Pandang. Untuk pilihan kedua ini, bapakku sangat rida.
Akhirnya
aku hanya berhasil lolos di IKIP D2.
Pasti waktu itu, doa bapakku menembus langit sesuai niatnya, beliau akan
bahagia kalau aku menjadi guru.
Kata
bapakku, “sekalipun bapak belum pernah bertemu guru yang kaya secara materi,
tetapi guru adalah pekerjaan yang paling mulia. Pahala yang akan kamu dapatkan
tidak akan pernah terputus hingga kamu tiada, asalkan kamu mengajar, mendidik
murid-muridmu dengan benar, baik, dan ikhlas.”
**************
Menyelusuri
kembali jejak-jejak masa 32 tahun lalu, mengingatkan akan masa di mana aku dan
teman-teman mengabdikan diri di desa Balleangin. Kecamatan Balocci Kabupaten
Pangkep Sulawesi Selatan.
Meninggalkan
zona nyaman, menuju ke tempat yang penuh tantangan. Tidak ada listrik, tidak
ada tempat tinggal, dan tidak ada keluarga. Hanya berbekal ijazah D2 dan restu
orang tua, aku berangkat ke desa Balleangin dan bersiap mengabdikan diri. Di
desa inilah aku bertemu dengan teman yang nantinya akan menjadi saudara
seperjuangan.
Aku
dan teman-teman adalah guru-guru muda, baik usia maupun ilmu apalagi
pengalaman. Ada yang baru dua tahun meninggalkan masa putih-putihnya (waktu itu
seragam SMA belum putih abu-abu), bahkan ada yang baru setahun menempuh
pendidikan guru dan langsung bertugas.
Bagiku,
situasi itu cukup sulit. Berbekal ilmu
seadanya, minim pengalaman, minim fasilitas, minim sarana, dan minim dana. Kami
hanya memiliki kekuatan semangat. Walau sulit tetapi tidak menyurutkan niat
kami untuk tetap menjalankan tugas sebagai guru.
Walaupun
ilmu kami masih sangat sedikit, pengalaman mengajar masih minim tetapi semangat
dan usaha kami tidak bisa dipandang sebelah mata.
Setiap
malam, diterangi lampu petromaks kami belajar untuk mengajar. Berdiskusi dengan
teman-teman seperjuangan, membicarakan tentang metode mengajar yang cocok,
bercerita tentang keseruan di kelas, dan sebagainya.
Setiap
pagi, kami menyambut murid-murid yang berdomisili di sekitar desa. Tidak
sedikit murid kami berasal dari desa lain yang jarak ke sekolah dengan desa
mereka lumayan jauh.
Ada yang berjalan kaki menempuh perjalanan puluhan kilometer
untuk mencapai sekolah. Tiba di sekolah
dengan keringat yang membasahi seragam dan kaki berdebu tetapi mata mereka memancarkan
binar kebahagiaan dan semangat membara untuk menuntut ilmu.
Jika
hari libur, biasanya kami diundang oleh orangtua murid menikmati hasil panen
mereka. Jika musim jagung, kami disuguhi berbagai makanan olahan dari jagung.
Musim kacang, kami akan sibuk mengupas kulit kacang, demikian pula jika musim
kedelai maka kami kembali disibukkan dengan kegiatan mengupas kulit kedelai, untuk
dimasak dan dimakan ramai-ramai.
Apabila
musim kemarau tiba, maka kami akan menikmati indahnya berjalan kaki demi mencari
air jernih.
Walaupun
hanya tujuh tahun mengabdikan diri di desa ini, namun banyak sekali manfaat yang kuperoleh selama tujuh tahun itu.
Belajar menjadi guru yang sesungguhnya, belajar berbagi dengan teman-teman
senasib, belajar mengelola keuangan agar dengan gaji kecil dapat memenuhi
kebutuhan hidup yang besar.
Di
desa ini pula aku belajar menjadi istri sekaligus menjadi ibu untuk dua orang
putraku. Mendidik anak dengan fasilitas seadanya ternyata jauh lebih mudah
dibandingkan mendidik anak dengan fasilitas serba lengkap.
Bersama ibu IDAH, teman seperjuangan. Kini beliau mengajar di salah satu sekolah negeri di kota Makassar |
Kini
sekolahku sudah maju dan indah. Tidak
ada lagi lapangan gersang yang dahulu kami olah untuk ditanami ubi jalar. Rumah
yang dahulu kami tempati serupa barak berdinding tripleks kayu sudah berubah
menjadi gedung sekolah baru.
Alhamdulillah,
penduduk di desa ini tidak perlu lagi ke luar daerah jika akan melanjutkan
pendidikannya ke tingkat lebih tinggi. SMP, SMA, dan SMK sudah berada dalam
satu kompleks.
Semoga
desa yang berkesan ini semakin maju. Penduduknya juga kian sejahtera apalagi
telah ditunjang dengan listrik yang memadai. Aamiin.
Wah, jadi ingin berkunjung ke sana 😁😁
ReplyDeleteYah mbak, desa yang asri dan nyaman
DeleteBunda, kakak saya yang pertama juga lulusan D2, dari IKIP Surabaya angkatan 1982. Dan seingat saya pengangkatan guru waktu itu sedemikian mudahnya. Bulan ini wisuda, bulan depan sudah pengangkatan dan mulai mengajar di SMP yang berjarak 2 km saja dari rumah orang tua saya...
ReplyDeleteDan, sampai sekarang kakak masih mengajar di situ...34 tahun sudah. Alhamdulillah
Alhamdulillah. Betul sekali, waktu itu guru-guru lulusan D2 bahkan D1 langsung diangkat jadi guru/PNS. Kebayang kan, usia yang masih muda sudah berdiri di depan kela. Tetapi kami, guru-guru muda tetap semangat.
Deletesangat menginspirasi mba :)
ReplyDeleteAamiin. Alhamdulillah
DeleteAamiin. Semoga ya mba kemudahan akses pendidikan menjadikan masyarakat setempat makin maju dan pintar.
ReplyDeleteSeneng ya mbak kalau sekolah kita jadi makin maju dan bagus. Suka jadi haru - haru gimana gitu
ReplyDeleteKalau sekarang, profesi guru termasuk sangat diminati dan prestisius untuk anak muda. Ya, perubahan zaman memang berpengaruh
ReplyDeleteSemoga perjuangannya mendidik tunas bangsa makin keren. Ya Mba.
ReplyDeleteBunda Dawiah lagi nostalgiaaaa ya. Serunya banyak perubahan gitu �� Semiga berkah untuk masyarakat sekitar. Bunda Dawiah sehat terus yaaa
ReplyDeleteMasya Allah, indahnya kisahnya. Ternyata bapak ta' yang doanya menembus langit sampai kita' jadi guru. Baarakallahu fiik, Kak. Sehat ki' selalu.
ReplyDelete