Ditantang
menulis dengan tema momen bahagia dalam hidup pastilah aku terima, karena aku
lebih senang disuruh mengenang momen bahagia dibandingkan disuruh mengenang
momen-momen yang menyedihkan.
Aku tidak mau!
Aku
tidak mau mengingat apalagi terkenang-kenang dengan peristiwa yang menyedihkan,
karena itu tidak penting lagi untuk dikenang.
Saat
aku mulai menulis, maka tanpa disengaja kenangan-kenangan itu berlompatan keluar dari
otak kecilku. Diibaratkan otak itu sedang mengeluarkan cairan-cairan kental merah dan membara. Melumer kemana-mana,
memberikan sensasi kebahagiaan sehingga menarik bibirku membentuk satu lekukan
manis. Aku tersenyum.
Sebenarnya
banyak momen yang membahagiakan di sepanjang
hidupku yang telah mencapai setengah abad lebih empat tahun ini. Sehingga cukup
sulit memilih, mana momen yang “paling” membahagiakan.
Seperti
saat melihat ibuku tersenyum terharu menerima amplop gaji pertamaku sebagai
guru. Momen itu sungguh membahagiakan sekaligus
membanggakan diriku. Demikian pula ketika melihat bapakku tertawa terkekeh-kekeh
membaca surat cinta pertama yang kuterima dari seorang penggemarku, juga selalu
terkenang dan membuatku tersenyum-senyum sendiri.
Setiap
kali anak gadisku bercerita tentang teman-temannya dengan mata berbinar maka
secara tidak langsung momen itu mengingatkan diriku sendiri ketika bercerita
kepada almarhum bapakku. Beliau sangat senang mendengarkan aku bercerita
tentang teman-temanku, terutama teman laki-laki yang selalu menyelipkan surat
ke buku tulisku.
Pura-puranya
dia pinjam utuk menyalin catatan padahal niatnya hanya ingin menyelipkan surat.
Katanya surat tanda persahabatan tetapi isinya mengungkapkan kekagumannya
kepadaku, mengutarakan perasaannya yang membuncah karena melihat senyumku yang
manis.
Setelah membacanya maka aku akan berputar-putar di depan cermin, senyum
sendiri untuk memastikan apakah senyumku memang manis seperti yang dikatakan
temanku itu. Lalu bapakku akan datang
menyentuh bahuku sambil berkata, “hanya laki-laki dungu yang tidak mau mengakui
senyum manismu.” Ah bapakku memang begitu orangnya.
Kemudian
bapakku akan berkata lagi, “tetapi sehebat-hebatnya pujian laki-laki kepadamu maka
janganlah kau tergoda, karena laki-laki yang baik adalah laki-laki yang tidak mengumbar
ucapannya kepadamu, melainkan menyimpannya dalam lubuk hatinya. Ia akan bekerja
dengan giat untuk mengumpulkan uang panai
kemudian dia akan datang meminangmu.”
Hem,
bapakku memang laki-laki paling romantis yang pernah aku kenal. Beliau selalu
menyelipkan nasihat-nasihatnya dengan sangat halus dan santun.
Itu hanya
sebagian kecil momen bahagia dalam hidupku bersama bapakku.
Ketika
aku ditugaskan menjadi guru di sebuah desa yang cukup terpencil. Sebuah desa
yang terletak di kaki gunung Bulusarung,
maka laki-laki pertama yang datang mengunjungiku adalah bapakku.
Beliau datang
sendiri, memakai kemeja putih yang sangat bersih lengkap kopiah hitamnya. Beliau
membawa kepiting dan beberapa buah mangga muda.
Saat
aku menyambutnya, beliau berkata,” Dawiah, bapak beli kepiting karena ini yang
paling gampang dimasak, cukup cuci dengan air hingga bersih lalu tambahkan air dan garam
terus dimasak.” Hehehe…bapakku sangat paham kalau anaknya yang manis ini belum pandai
memasak.
Hari
itu aku melihat bapak sangat gembira. Kami makan sambil bercerita,
sekali-sekali bapak batuk karena terbahak mendengar ceritaku yang menulis resep
memasak nasi. “Aih.. masa masak nasi
saja harus tulis resepnya.” Kata bapakku sambil tergelak-gelak.
Suatu
hari, seorang teman datang berkunjung ke rumahku. Seorang laki-laki yang juga
teman mengajarku. Dia datang sesaat setelah azan salat ashar dikumandangkan. Bapakku
mengajak dia salat berjamaah. Bapak mempersilahkan laki-laki itu menjadi
imamnya. Aku melihat keringat di dahi laki-laki itu keluar berbulir-bulir.
Setelah
selesai salat berjamaah, bapakku bertanya kepada laki-laki itu, lebih tepatnya
menginterogasinya. Di mana rumahnya, siapa orang tuanya, apa pekerjaannya, suku
apa, dan sebagainya. Setelah acara
interogasi selesai, bapakku memanggil aku lalu menyuruhku menyajihkan teh kepada
temanku itu.
Kulihat
dahi temanku semakin basah oleh keringat. Saat laki-laki itu pulang, di ujung
tangga temanku berbisik, “untung tadi hanya salat ashar, bagaimana kalau salat
magrib, pasti aku dikuliti bapakmu kalau tahu aku tidak terlalu fasih mengaji.”
Hahaha…aku terbahak mendengarnya.
Setelah
temanku itu pulang, bapakku berkata, “suruh laki-laki itu datang melamar!”
Ya
Allah ya Rabbi, bapakku setuju dengan laki-laki yang berkeringat dingin itu. Laki-laki
yang kini menjadi suami dan bapak dari anak-anakku kini.
Momen
itu adalah salah satu momen bahagia yang mengawali perjalananku bersama
suamiku.
Subhanallah!
Sungguh
banyak momen bahagia dalam hidupku. Mungkin kalau setiap momen itu aku tulis
maka bisa menjadi beratus-ratus halaman.
Yuhuii
… tiba-tiba aku dapat ide. Momen-momen bahagia itu akan aku tulis seluruhnya
hingga layak menjadi satu buku.
Momen yang tidak membahagiakan tidak akan aku
tulis, tidak perlulah kesusahan dan kesedihan itu kubagi, cukup aku saja yang
tahu karena itu pasti berat. Belum tentu orang lain mampu memikulnya. Tidak ada
juga gunanya setiap keterpurukan, kesedihan, musibah dan apapun itu dibagikan
kepada orang lain.
Jadi
aku akhiri saja tulisan ini, karena momen-momen bahagia itu tiba-tiba saja bermunculan
untuk dikenang kembali.
Bismillah. Aku akan
menulisnya.