Tanah
suci umat Islam, Mekka atau Makka Al Mukarramah adalah impian mama saya sejak
dahulu. Setiap kali melihat tayangan tentang negeri kecintaan umat Islam itu di
televisi, mata mama berkaca-kaca. Terharu. Apalagi kalau yang dilihatnya
adalah Ka’bah, maka beliau akan selalu berkata. “Semoga kita bisa juga ke
sana.”
Suatu
waktu, mama menonton televisi dengan tayangan kesukaannya. Tawaf mengelilingi
Ka’bah.
“Dawiah,
sama-ki nanti pergi ke Mekka nah!”
Seru mama.
“Kapan
yah kita ke sana?” Mama bicara lagi sebelum saya sempat menjawab seruannya.
“Andaikan
Mekka itu dekat, seperti ke Pangkep pasti saya sudah bawa maki ke sana.” Jawab saya sekenanya.
“Awwi… kalau seperti ji Pangkep, tiap bulanma
ke sana, hahaha…” Mama tergelak sampai bahunya terguncang-guncang.
Saat
dana sertifikasi pertama saya cair, atas izin suami saya berniat menyerahkan dana
itu buat biaya haji mama. Tetapi mama
menolak karena dia tidak ingin berangkat sendiri.
“Kenapa
Mama menolak?” Tanya saya.
“Mama
tidak mau pergi sendiri, nanti kita pergi berdua kalau perlu bertiga dengan
suamimu.” Jawabnya seraya menengadahkan kedua tanganya. Berdoa.
Saya hanya bisa menelan ludah. Biaya satu orang saja mahal apalagi bertiga.
Tetapi
siapa yang bisa menyangkal doa seorang ibu. Doanya langsung diijabah oleh Allah
swt. Setahun kemudian, saya berhasil mengumpulkan dana untuk setoran haji
bersama mama. Bukan hanya berdua melainkan bertiga dengan suami saya.
“Tunggu 10 tahun ya Bu.” Demikian jawaban pegawai
yang melayani kami di kantor Departemen Agama.
Kami hanya diam mendengarnya. Tetapi mama menjawab dengan
kesederhanaan pikirannya.
“Biar
20 tahun kami akan menunggu yang penting kami sudah berniat dan berusaha.”
Sejak
hari itu, mama rajin belajar dengan bertanya kepada teman-temannya di majlis
taklim. Semakin rajin mengaji, mengikuti pengajian-pengajian dan semakin rajin
ke masjid. Katanya, untuk latihan agar nanti di tanah suci tidak kagok lagi
melaksanakan ibadah.
Ternyata
Allah swt sangat sayang sama mama. Entah bagaimana caranya kami mendapatkan
rezki untuk berangkat ke tanah suci. Walaupun hanya ibadah umroh, namun
setidaknya sudah bisa memenuhi separuh impiannya.
Semalam di Kualalumpur
Hari
yang indah, matahari bersinar cerah secerah hati mama. Tidak sedikitpun dia
memperlihatkan kelelahan atau kecemasan, padahal ini adalah perjalanan
pertamanya menggunakan pesawat terbang.
Pukul
17.30 waktu setempat, rombongan kami tiba di Kualalumpur. Rencananya kami akan
menginap semalam di hotel yang telah disediakan oleh pihak travel, dan esoknya
kami akan singgah di beberapa tempat sebelum menuju ke bandara dan terbang ke
Jedda.
Saat
berada di salah satu hotel di Kualalumpur, mama kedinginan. Beliau memang tidak terlalu suka
dengan ruangan yang ada acnya.Saya mencari remot ac untuk menonaktifkan ac, sayangnya remot acnya tidak
berfungsi. Maka semalaman kami tidur berpelukan agar dapat saling menghangatkan
tubuh kami. Serasa saya kembali menjadi bayi, tidur dalam pelukan mama.
Mama paling senang difoto. Ini foto beliau di depan salah satu hotel di Kualalumpur |
Hajja! Masuk Pintu Nomor 25
Rombongan
kami tiba di Madina sekitar pukul 03.00. Azan subuh berkumandang tepat setelah
kami membereskan barang-barang dan tas di kamar hotel. Kami turun dari hotel
menuju masjid Nabawi. Kulihat mata mama berbinar-binar, sembari tersenyum
semringah dia menggapit lengan saya sambil berbisik.
“Alhamdulillah,
Dawiah … engka tongengni ko Madina di ..
de’ usangka-sangkai. Sukkuruki mappoji ri puang Allah Taala.”
Artinya:
Alhamdulillah,
Dawiah … kita betul-betul sudah di Madina ya … tidak kuduga. Bersyukurlah
kepada Allah Taala.”
“Iye Ma …” Saya memeluk mama dengan
penuh rasa haru.
Kami
bergandengan mencari pintu masuk masjid Nabawi, tiba-tiba kami dihadang oleh
seorang laki-laki yang tinggi besar, memakai jubah putih sambil berteriak.
Tangannya menunjuk ke arah selatan. Langkah kaki kami terhenti, kami diam
mematung tidak tahu mau berkata apa.
“Hajja
mau masuk masjid?” Tanyanya. Masya Allah! Dia menyapa kami dengan bahasa
Indonesia.
“Iya
Pak.” Jawab saya senang.
“Hajja
masuk lewat pintu nomor 25.” Katanya lagi tersenyum sambil berlalu. Mama mengangguk takzim. Laki-laki itu balik mengangguk tak kalah takzimnya.
Mama memang selalu sopan kepada siapapun.
Subuh di depan Masjid Nabawi bersama mama |
Bonus untuk Mama
Berziarah
ke makam Rasulullah saw adalah salah satu impian mama. Makam Rasulullah saw
berada di dalam masjid Nabawi, ditandai dengan pintu berlapis emas dan warna
karpet kehijauan, berbeda dengan warna karpet lainnya di dalam masjid.
Di
sebelah mimbar Rasulullah terdapat Raudah, sebuah bilik kecil tempat para
peziarah bermunajat kepada Allah swt. Sayangnya, untuk berziarah dan memasuki
Raudah bukan hal yang gampang. Biasanya jemaah memasuki makam bersama
rombongannya dan sebelumnya harus antri menunggu
giliran. Jika giliran rombongan jemaah tiba untuk masuk makam, masih juga memerlukan
perjuangan yang cukup berat untuk sekedar salat dua rakaat, karena biasanya
rombongan jemaah lain saling berdesakan.
Hal
inilah yang saya takutkan. Postur tubuh mama kecil ditambah dengan usianya yang sudah
tidak muda lagi serta fisiknya yang lemah, mana mungkin beliau mampu bertahan
dari desakan jemaah lainnya. Apalagi postur tubuh jemaah dari negara Timur
Tengah pada umumnya tinggi dan besar.
Untuk
menyiasatinya, saya menggandeng tangan mama mengikuti rombongan jemaah dari
Uzbekistan. Saya pikir, kalau kami berada di antara mereka maka kami akan terlindungi
oleh tubuh-tubuh mereka yang besar dan kekar.
Tiba-tiba
seseorang memanggil kami. “Bu! Kesini Bu!”
Kami
menoleh, ternyata ada seorang perempuan bercadar melambaikan tangannya ke arah
kami. Mamaku mencengkeram lenganku sambil berbisik.” Astagfirullah, salahki kapang di?”
Perempun
bercadar itu mendatangi kami sambil bertanya.
“Ibu
berasal dari Indonesia?” Terdengar logat dan bahasa yang tidak asing ditelinga
kami. “Iyah Mbak.” Saya balas menjawab dan mama bernafas lega.
“Mbak
orang Indonesia kan?” Tanya saya tanpa ragu.
“Iya,
saya berasal dari Purwokerto. Kalian mau ke makam Rasulullah?” Perempuan
bercadar memandang kami sambil tersenyum, walaupun bibirnya tidak terlihat
karena dia memakai cadar tetapi garis matanya memperlihatkan kalau dia sedang
tersenyum. Saya dan mama mengangguk bersamaan.
“Sini,
ikuti Saya.” Perempuan bercadar yang belakangansaya ketahui bernama Ummu Salama
itu adalah seorang tenaga kerja wanita, dia bertugas membersihkan masjid Nabawi. Kami mengikuti Ummu Salama yang berjalan ke
arah lain yang berlawanan arah dengan rombongan jemaah yang akan berziarah ke
makam Rasulullah. Ummu Salama berhenti di depan jalan tempat keluarnya jemaah
yang telah selesai berziarah. Dia bercakap sejenak dengan perempuan bercadar lainnya
yang bertugas menjaga pintu keluar. Perempuan itu lalu mempersilahkan kami
masuk dan Ummi Salama mengangguk ke arah kami kemudian berlalu.
Subhanallah! Saya tidak berhenti mengucap syukur. Disaat jemaah lain berdesak-desakan
memasuki ruang berkarpet hijau dan salat sambil ditunggui oleh teman
rombongannya, kami malah mendapatkan tempat yang luang untuk salat sambil
ditunggui oleh penjaga yang bercadar. Mamaku salat lalu berdoa sambil menangis.
Sejurus kemudian, kami dihalau oleh penjaga. “Hajja … hajja keluar, sudah …
sudah.”
Kamipun
keluar melalui jalan tempat kami tadi masuk. Sekali lagi mama mengangguk
takzim kepada penjaga yang kami lewati, penjaga bercadar itupun balas mengangguk.
Setelah
berada di luar masjid, mama duduk di pinggir emperan tokoh, tidak
henti-hentinya dia mengucap syukur sambil berkata.
“Dapatki ini bonus dari Allah, ka
banyaknya orang Indonesia ma’jaga, itumi bisaki masuk di ...”
Air Mata Mama di Depan Ka’ba
Pada
hari keenam, rombongan jemaah melanjutkan perjalanan menuju Mekka. Singgah
sebentar untuk mengambil miqot di Bir Ali lalu perjalananpun dimulai. Sepanjang jalan menuju Mekka, mama tidak
henti-hentinya mengucapkan “Labbaikallahumma labbaik..”
Rombongan
kami tiba di hotel pukul 24.30. Kami hanya menyimpan koper dan bawaan lainnya,
lalu turun di pelataran hotel berkumpul bersama jemaah lainnya dan bersiap
berjalan menuju Masjidil Haram untuk melanjutkan serangkaian ibadah umroh kami,
yaitu tawaf, sai’, dan tahallul.
Selama
tawaf tak sekalipun terdengar mama mengeluh karena capek. Padahal jarak dari
hotel ke Masjidil Haram lumayan jauh, kemudian tanpa beristirahat kami langsung
melakukan tawaf. Mama juga tidak menjadi heboh saat melihat ka’ba, padahal
inilah tempat yang sangat dirindukannya. Beliau hanya menangis pelan tanpa
suara. Air matanya bagaikan kristal bening, menggantung indah di pipinya yang
keriput.
Demikian
pula, saat kami melakukan sai’, mama berjalan dan berlari-lari kecil dari
Shafa ke Marwah dengan langkah yang ringan. Kalau urusan jalan kaki, mama memang jagonya. Tidak sia-sia beliau setiap hari berjalan kaki dari rumah
menuju masjid, tiga sampai lima kali sehari.
Alhamdulillah,
kami menyelesaikan prosesi ibadah umroh dengan baik. Semoga ibadah umroh kami
mabrur.
Kenangan-kenangan
yang saya rajut bersama mama tidak terbilang banyaknya, tetapi bersamanya
melakukan ibadah umroh adalah kenangan yang terukir setelah saya sendiri telah
menjadi ibu, mama bagi anak-anak saya.
Dari
kebersamaan itu, menyadarkan saya bahwa betapa pentingnya menjaga kesehatan
jasmani dan rohani.
Kesehatan jasmani mama terjaga dari rutinnya beliau
berjalan kaki dan selalu mengerjakan semua pekerjaan rumah tanpa pernah
sekalipun mengeluh. Sementara kesehatan rohaninya, beliau jaga dengan selalu
salat fardu tepat waktu, salat malam, dan puasa sunat.
Mama juga tipe orang yang
tidak banyak menuntut, ikhlas mengerjakan apapun, setidaknya itu yang saya lihat
sejak pertama kali saya mengenalnya.
Sehat
terus Mama, semoga keberkahan Allah swt selalu menyertai mama.
senang banget yaa bisa umroh bersama orang tua
ReplyDeleteAlhamdulillah mbak. Terima kasih sudah meninggalkan komentarnya.
DeleteBerbahagia ya Bun masih ada mama, aku sudah tidak ada
ReplyDeleteSehat terus ya untuk mba Dawiah serta sang Mama juga seluruh keluarganya. Hiks, jadi kangen. Bersyukur banget ya mba dimudahkan ziarah ke makam Rasulullah SAW.
ReplyDeleteMasya Allah, ikut terharu T_T Alangkah bahagianya bisa ke baitullah bersama Mama. Semoga mamanya selalu sehat ya, Bunda :)
ReplyDeleteBahagianya bisa membahagiakan mama ya Bunda... sukses dan sehat terus untuk semua
ReplyDeleteKeajaiban memang sll ada saat umroh dan haji. Ini cerita teman yang sudah kesana. Smg kita bs ke sana
ReplyDeleteWahhh, semoga mbak dan mamanya sehat sampai hari H ibadah haji... Tidak semua seberuntung itu.
ReplyDelete