Kisah
ini aku alami beberapa puluh tahun yang lalu. Saat itu aku masih berstatus mahasiswa
di IKIP Ujung Pandang, sekarang UNM Makassar. Pada waktu itu, IKIP Ujung
Pandang sedang gencar-gencarnya membangun kampus baru.
Tahun
1984 kampus UNM Parangtambung masih dalam proses pembangunan, bahkan sebagian
besar lokasinya masih dijadikan area praktek berkebun. Nah, salah satu mata
kuliah yang kuprogramkan waktu itu, oleh dosennya diwajibkan praktek berkebun.
Mulai dari menanam, menyiangi, menyiram hingga tanamannya bisa dipanen.
Kami dibagi berkelompok, setiap kelompok wajib datang ke kebun dua kali dalam sepekan.
Kami dibagi berkelompok, setiap kelompok wajib datang ke kebun dua kali dalam sepekan.
Sementara
itu, kondisi daerah Parang Tambung saat itu masih sangat sunyi, belum ada
kendaraan umum dan jalanannya belum mulus masih berbatu-batu. Mobil yang melewati kampus baru itu hanya mobil-mobil truk yang mengangkut batu bata atau pasir, ada
juga mobil yang mirip dengan truk tetapi ukurannya lebih kecil, kami menyebutnya mobil open kap. Kadang-kadang juga ada mobil boks yang lewat.
Bisa
dibayangkan, betapa sulitnya kami mendatangi lokasi itu. Karenanya aku dan
teman-teman biasanya meminta tolong kepada sopir mobil truk yang akan masuk ke
daerah itu. Untungnya sopir-sopir mobil truk itu baik hati, kami diizinkan naik
ke mobilnya dengan catatan bersedia naik di belakang, bergabung dengan pasir,
batu, bahkan terkadang bergabung dengan rumput yang disediakan untuk makanan
sapi dan kambing. Syukurlah tidak pernah bergabung dengan kambing. He … he … he
…
Mobil
truk itu biasanya berangkat pukul 8 pagi dan pulang jam 17.00, akibatnya kami juga akan
tinggal di kebun hingga sore, menunggu kembalinya truk-truk tersebut.
Pada saat truk itu pulang, biasanya truk dalam keadaan kosong, sehingga kami
bisa duduk berselonjor di atas truk.
Hingga
suatu waktu, seperti biasanya kami menunggu truk yang akan lewat, aku bersama lima orang
temanku, menunggu di depan jalan yang menuju arah kebun kampus. Tepat jam 8.00
satu mobil lewat, tetapi bukan mobil truk yang biasa kami tumpangi, melainkan
mobil boks.
Daripada terlambat kami menyetop mobil tersebut. Untunglah sopirnya
baik hati, kami dipersilahkan naik ke atas mobil, dan masuk ke dalam boks.
Astagfirullah!
Pengap nian mobil boks itu. Kami berenam
bersama kardus-kardus yang berisi rokok, sehingga kami duduk, lebih tepatnya
jongkok mengkerut berusaha mengecilkan badan kami. Namanya juga mobil boks,
tanpa jendela, maka pastilah pengap.
Mobil
melaju cukup kencang. Karena kami di dalam boks yang tidak memiliki jendela, tentu saja kami tidak melihat
jalanan. Akibatnya kebun kampus kami terlewati. Kami baru sadar setelah mobil
berhenti, dan kami turun di suatu tempat yang asing.
“Di
mana ini Pak? Tanyaku heran.
“Ini
di Mallengkeri Dik.” Jawab sopir kalem.
“Apakah
kebun kampus IKIP sudah lewat Pak?” Tanya temanku, satu-satunya laki-laki dalam
kelompok kami.
“Oh
sudah jauh Dik, kenapa tadi tidak kasi tahu sopir.” Kata kernetnya.
Waduh,
bagaimana ini? Jalanan ini kan sunyi, belum ada kendaraan yang lalu lalang
“Kapan
bapak balik ke kota?” Seorang teman bertanya dengan harapan mobilnya akan
kembali.
“Besok
pagi Dik, kami harus melanjutkan perjalanan ke Gowa dulu mengantar barang.” Pak
sopir menjawab sambil menatap kami sedih.
“Iyah
Pak, ndak apa-apa, terima kasih yah
Pak.” Jawabku lesu.
Setelah
berembuk, maka diputuskanlah kami beristirahat di rumah penduduk sambil
berharap ada mobil lain yang lewat. Cukup lama kami menunggu, akhirnya
terdengar suara mobil dari kejauhan, bukan satu melainkan lebih dari satu.
Teman laki-laki kami maju ke tengah jalan ingin menyetop mobil tersebut.
Alhamdulillah
mobilnya berhenti diikuti oleh beberapa motor, ternyata suara yang kami dengar
itu adalah suara motor dan hanya satu mobil.
“Mau
ke mana Dik?” Tanya sopirnya ramah. Di dekat sopir ada juga seorang perempuan
setengah baya, menatap kami dengan mata sayu.
“Kami
mau ke jalan raya Pak, bolehkah kami menumpang?”
“Boleh
saja, tetapi apakah kalian berani?” Pak sopir menjawab dengan mata menyelidik ke arah kami satu persatu.
“Memangnya
kenapa Pak.” Tanyaku sedikit khawatir.
“Ini
mobil jenazah Dik, yang di belakang itu adalah jenazah suami ibu ini.” Jawab
sopir sambil memiringkan badannya, seakan memperkenalkan perempuan setengah
baya yang duduk di sampingnya. Si ibu mengangguk, matanya sembab.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 17.30, sebentar lagi malam, jika kami tidak
memberanikan diri maka kami akan semakin terlunta-lunta. Akhirnya kami naik ke
mobil itu. Di atas mobil, terbaring jenazah yang ditutupi dengan kain batik,
kami duduk bersebelahan, dengan jenazah terbaring di tengah.
Sepanjang
jalan kami terdiam, dan saling memandang dengan wajah yang tidak karuan. Aku duduk
meringkuk di tengah sambil menahan kencing karena takut. Bukannya takut sama
jenazahnya, tetapi kondisinya sangat horor.
Saat melewati jalanan yang berbatu, jenazah itu tergoncang-goncang seakan-akan
ingin bangkit dari tidurnya.
Apalagi
saat mobil membelok, maka posisi jenazah ikut miring. Celakanya jenazah itu
miring ke arahku. Aku menggigit bukuku sangat erat menahan teriak. Dua temanku
yang duduk di samping kiri kananku, menahan
takutnya dengan meremas lenganku.
Astagfirullah! Lengkaplah sudah derita yang kualami.
Tiba-tiba
mobil berhenti mendadak. Serentak kami melongok
ke jendela kaca. Rupanya mobil sudah tiba di jalan poros kota.
Sopir mobil turun dan membuka pintu belakang mobil
“Sudah
sampai adik-adik, maaf tadi direm mendadak, hampir lupa kalau kalian ada di
belakang, jenazah itu akan dikuburkan di pekuburuan Panaikang, adakah yang
searah? Kalau mau, boleh ikut lagi jadi tidak usah turun.” Tawar pak sopir
ramah.
“Oh
tidak ada-ji Pak, terima kasih
banyak.” Jawabku buru-buru.
Akhirnya
kami bisa bernafas lega, tiba di jalan poros dengan selamat.
“Hei,
Dawiah rumah kamu kan searah dengan mobil tadi, kenapa tidak ikut?” Salah
seorang temanku menggodaku sambil cengengesan.
“Hii..lebih
baik aku jalan kaki dari pada ikut mobil itu.” Kataku bergidik.
“Ha…
ha … ha ... bisa-bisa kamu kencing di celana yah?” Mereka tertawa serentak.
Aku
hanya tersenyum kecut.
#ALUMNI_SEKOLAHPEREMPUAN
#sekolahperempuan
Ceritanya seruu, Bunn. Berasa baca cermis. TOP deh, ;)
ReplyDeleteSeseru perasaan kami dulu, deg-deg duarr
DeleteWah.. Sesunyi itu ya jalanan ke arah Daeng Tata dan Malengkeri di tahun '84. Horrornya kak, gak kebayang duduk di dalam ambulance berisi mayat yang gak kita kenal 😯
ReplyDeleteSebenarnya tidak sunyi, sudah banyak penduduknya. Hanya belum ada angkot/pete-pete.
DeleteKentaranya di manusia lawas hahaha...
Klo aku sih mending gak ikut nebeng mba. Hiiiiiii
ReplyDeleteIyah lebih baik jalan kaki hihihi..
DeletePengalamannya bikin yang baca berasa ikutan ada di sana. Cara penceritaannya kece nih, mbak.
ReplyDeleteAsal jangan ikut-ikutan gigit buku yah, terima kasih sudah berkunjung.
Deleteaduh jadi ikutan deg2an. salam kenal ya bu :)
ReplyDeleteSalam kenal juga mbak. Maaf baru lihat komennya.
Deleteduh kalo ngebayangin kok saya yg deg2an ya hehe,
ReplyDeleteseru jadi ikut kebawa ceritanya...
salam kenal buu
Salam kenal juga mbak, terima kasih ya sudah berkunjung.
DeleteBacanya seru, mengalaminya ...enggak deh. Makasih :))
ReplyDeleteJangan sampai de...horor banget.
DeleteYa Ampun Mba, serunya cerita jaman kuliah ya. Masa muda emang nggak ada lawannya ya 😁 *yangpernahmuda.
ReplyDeleteHehehe...kentara ya kalau sudah tuir.
DeleteBacanya jadi ikut deg-degan.. huhuhu..
ReplyDeleteUntungnya sudah lewat ya. Terima kasih sudah berkunjung
Delete