Saya
masih di sekolah, ketika dia datang dengan senyuman penuh misteri, saya
memandang raut wajahnya dengan saksama, saya melihat ada kilau bahagia di
matanya.
“Kamu
lulus Nak?” Saya menatapnya sembari mengharap dia mengangguk.
Seperti
biasa, dia tersenyum sambil menggoda, “Adajikah
uangta untuk membayar biaya
pendaftran ulang, kalau saya lulus?” Duh ini anak malah balik bertanya.
“Insya
Allah ada.” Dan yang saya harapkan terjadi, dia mengangguk seraya menyodorkan
laptop yang dibawanya. Pada file pengumuman yang dia perlihatkan, namanya
tertera pada urutan 63 dari 138 nama calon taruna yang diterima, file itu
berupa surat dengan kop surat, Kementerian Perhubungan Badan Pengembangan SDM
Perhubungan. Alhamdulillah.
Baca sebelumnya di sini
Baca sebelumnya di sini
Ini Baru Awalnya
Sejak
hari itu, dia sangat sibuk mengurus segala keperluan yang berhubungan dengan
pendaftaran ulangnya. Mulai dari pembayaran hingga surat-surat yang harus
disiapkannya, semuanya dia lakukan sendiri. Kacuali, ketika dia diminta membeli
pakaian tambahan sesuai petunjuk dari pihak kampus, sepatu olah raga, pakaian
dalam yang berwarna putih, kemeja putih hingga pohon trembesi.
Pohon
trembesi? Itu untuk apa yah? Belakangan baru saya mengerti, pohon itu akan
ditanam di kampus baru atau kampus 2 Salodong Makassar, karena di sana masih
sangat gersang.
Saat
kami, saya dan ibu saya mengantarnya ke kampus, saya baru menyadari, mengapa
dia sangat berminat melanjutkan pendidikannya di ATKP ini. Para taruna yang
menyambut kami kelihatan gagah semua dengan postur tubuh yang tegap, kukuh
dengan langkah kaki yang tegak dan gerakannya sigap. Yah mirip-mirip dengan
tentara atau polisi. Mungkin inilah yang membuatnya tertarik.
Setelah
serangkaian acara penyambutan selesai, calon taruna didampingi orang tuanya
dipersilahkan ke salah satu ruang, seperti aula mini. Sebelum memasuki aula,
tas calon taruna diperiksa, semua barang yang tidak sesuai dengan daftar yang
telah diberikan sebelumnya, dikeluarkan. Dompet dan uang jajan yang saya
selipkan di saku celananya juga dikembalikan kepada orang tua. Sekilas saya
melihat matanya yang cemas.
Di dalam
aula, calon taruna dan orang tua atau pengantar duduk terpisah tetapi saling
berhadapan. Seorang pembina memberikan wejangan,
semacam renungan. Para orang tua diminta untuk bersabar dan mengikhlaskan
anaknya untuk dibina dan digembleng. Karena selama tiga bulan, mereka tidak akan
berhubungan dengan orang tua, baik via telepon apalagi bertemu langsung.
Hampir
semua yang hadir menangis terharu tidak terkecuali calon taruna, bahkan ada
seorang ibu yang menangis sambil meraung-raung. Saya jadi kepo, rupanya anaknya
itu adalah anak semata wayang. Tiga bulan bepisah dengan anak tanpa bisa
berhubungan sedikitpun, mungkin itulah yang dipikirkan oleh ibu itu.
Sebenarnya
saya juga berpikiran yang sama, tetapi saya percaya dia akan mampu melewatinya.
Bukankah itu adalah pilihannya sendiri, itu artinya dia sudah siap menerima
semua konsekwensinya.
Tiga Bulan Tanpa Berita
Inilah
pertama kalinya saya berpisah dengan anak dalam jangka waktu lama tanpa
komunikasi sedikitpun. Sekalipun usianya sudah 18 tahun, tetapi kecemasan akan
keselamatannya sering mengganggu pikiran. Ditambah dengan informasi dari
orang-orang, bahwa pendidikan seperti itu sarat dengan bullying, penyiksaan, penzaliman dari senior terhadap yuniornya.
Allahu
Akbar, saya hanya pasrahkan semuanya kepada-MU.
Setelah
dua bulan, rupanya pertahanan ini jebol juga. Saya harus bertemu dengan anak
saya, sekedar melihatnya saja untuk memastikan keadaannya. Dengan dibonceng motor
oleh kakaknya, saya menyusuri jalan Salodong, jalan menuju asramanya sambil
membawa beberapa makanan kecil.
Sebelum
tiba di kampus II, saya singgah di rumah penduduk, berbincang-bincang dengan
mereka. Dari informasi mereka, saya tahu kalau setiap pagi, bis kampus
mengantar semua taruna ke kampus I di
Maros untuk belajar dan sore harinya diantar kembali ke asrama. Ada niat untuk menunggu bis itu lewat, tetapi
kakaknya mengingatkan kalau hari itu adalah hari libur. Berarti semua taruna
tidak ada yang ke kampus I. Tidak ada bis pengantar yang akan lewat.
Untuk
beberapa waktu, saya hanya duduk di halaman rumah penduduk. Rupanya saya tidak
cukup berani untuk menemuinya. Bukan karena penjagaan satpam yang cukup ketat,
melainkan kecemasan saya, kalau-kalau dia akan mendapatkan hukuman akibat
perbuatan saya. Sekali lagi, doa saja yang bisa saya kirimkan, semoga dia
selalu dalam perlindungan Allah swt.
To
be continue …
sama mertuaku waktu suami diterima dapat penempatan tugas pertama di Luwuk menangis terus kodong barusan pisah sama anaknya hehehehe... semangat bundaa.. :)
ReplyDeleteIyah begitulah perasaan semua ibu, setegar-tegarnya berpisah sama anak pasti akan sedih juga akhirnya. Terima kasih sayang sudah berkenan mengunjungi blogku yang sangat sederhana ini.
ReplyDeleteSemoga wisudanya lancar dan sukses selalu buat kak Uci. Amin
ReplyDelete