27 Ramadan 1438 H/ 22 juni 2017 M
Beberapa hari ini saya tidak menyapa si-lippi, karena sudah bertekad untuk konsentrasi di 10 hari terakhir Ramadan, juga menyelesaikan baju seragam saya dengan si-bungsu, kami hanya berdua perempuan di rumah jadi wajar dong kalau kami seragam berdua saja (hehe..kakak-kakak jangan iri yah).
Beberapa hari ini saya tidak menyapa si-lippi, karena sudah bertekad untuk konsentrasi di 10 hari terakhir Ramadan, juga menyelesaikan baju seragam saya dengan si-bungsu, kami hanya berdua perempuan di rumah jadi wajar dong kalau kami seragam berdua saja (hehe..kakak-kakak jangan iri yah).
Semua
sudah disiapkan, rencananya, tarawih tak mau ditinggalkan kemudian lanjut salat malam dan ditutup
dengan witir. Facebook hanya dilirik sekali-sekali saja, hanya sekedar menjaga
agar tidak menderita penyakit kudet (kurang update). Sudah janji juga untuk
tidak jalan ke pasar apalagi ke mal, tidak mau sibuk di depan oven bikin macam-macam
kue (niatnya beli saja sekedarnya).
Pokoknya,
hanya dua macam kegiatan saja yang akan saya lakukan, selain kegiatan rutin
tentunya, masak untuk sahur dan buka puasa.
Namun
apalah daya, tubuh ini hanya seonggok daging
yang sudah mulai matang (saya paling
anti disebut tua) walau kenyataannya memang begitu. Karena menjadi tua, oleh
sebagian orang dianggap sama dengan tidak berdaya dan saya merasa masih bisa
berdaya.
Perjuangan
batin dimulai.
Ketika
kain sudah digelar, pola sudah disiapkan lalu sret-sret, kain digunting
tiba-tiba, tamu datang, bukan satu tetapi serombongan. Maka kain yang sudah
siap dieksekusi di mesin jahit dimasukkan ke tempat yang aman. Lalu berpindah
ke ruang tamu, cipika cipiki, cerita-cerita hingga menjelang sore. Serombongan
tamu pulang, karena udah menjelang buka puasa, kegiatan lanjut ke dapur.
Malamnya,
menjelang salat isya, godaan itu mulai datang, antara salat isya dan tarawih di
masjid dengan melanjutkan jahit baju yang tadinya tertunda. Dan taraaaa…jahit
baju menang. Dengan alasan, saya bisa kok salat malam sebentar, akan lebih
tenang dan lebih khusyuk dan bla..bla..
Ting..tong,
alhamdulillah, tamu datang lagi. Jahitan tertunda lagi.
Ya
Allah, kapan selesainya jahitan ini, lebaran sebentar lagi ini sudah H-5, baju
lebaran belum selesai juga.
Hingga
H-3, saya menyerah, mungkin Allah swt tidak menghendaki kami pamer baju
seragam. Baju yang sudah setengah jadi saya gulung dengan rapi kemudian saya masukkan
ke dalam kantong plastik terus disimpan dalam lemari, beres.
“Nak,
kita tidak usah pakai seragam yah, simpan saja untuk pernikahan kakak nanti.” Saya
sampaikan dengan muka memelas kepada putri saya satu-satunya.
“Iyah
Ma, saya sembarang-ji. Jadi saya
pakai baju apa nanti lebaran?” jawab putri saya santai.
“Kita
ke Mal.” Seru saya girang.
“Hm…katanya
tidak mau ke Mal.” Sindirnya dengan senyum dikulum.
“Ini
darurat sayang, ayo siap-siap, kita jalan mumpung masih pagi.”
Maka
pantangan kedua terlanggar sudah
Namanya
juga Mal, ada banyak godaan di sana. Celangak-celinguk, lihat sana-sini tak
terasa sudah sore. Maka pulanglah kami dengan membawa sepasang baju dan sepatu
buat si-putri.
“Mama,
tidak beli baju?” Putri mengusik hati saya.
“Ah,
mama biar tidak pakai baju baru, tetap cantik kok, hehehe…”
“Ih
..Mama pasti lelah.” Jawabnya dengan senyum dikulum.
Lelah,
memang lelah sayang. Tubuh ini memang harusnya digunakan saja untuk lebih banyak rukuk dan sujud,
bukannya jalan-jalan sepanjang hari. Tetapi karena sudah melanggar janji
sendiri, maka jiwa dan fisik ini protes.
Dan
malam ini, setelah menikmati tidur dalam kelelahan saya duduk di sini
menuliskan perasaan saya yang berkecamuk dalam sesal. Ramadan sisa dua hari,
dan saya terlena dengan pernak-pernik lebaran.
Astagfirullah!
Dalam
sesal ada sedih yang menyeruak hati, kok
saya tidak bersedih akan berpisah dengan
Ramadan?
Padahal
saya belum tentu bersua dengannya tahun depan, kenapa? Apakah karena saya telah
ingkar janji terhadap diri sendiri? Oh yah bukankah janji yang saya buat itu,
otomatis adalah janji saya juga kepada-Nya, untuk datang kepada-nya bersimpuh
dan mencurahkan sagala rasa?
Astagfirullah,
saya harus berhenti sekarang!
Dan
malam ini saya harus memaksa hati, pikiran, dan raga ini untuk datang
kepada-Mu. Ampuni jiwa yang rapuh ini ya Allah!
Buatlah
hati saya sedih yah Allah, atas perpisahan dengan bulan yang penuh rahmat ini.
Buatlah mata ini menangis untuk menangisi semua hal yang telah saya lakukan di
masa lalu.
Jangan
biarkan hati ini gersang, wahai yang Maha Penyejuk.
Limpahilah
jiwa ini dengan tangis penyesalan, wahai yang Maha Pengampun.
Hingga
Engkau memanggil hamba-Mu ini dengan
kata-kata:
“yaaa ayyatuhan-nafsul-muthma’innah.”
“irji’iii ilaa robbiki roodhiyatam
mardhiyyah.”
“fadkhulii fii ‘ibaadii.”
“wadkhulii jannatii.”
Hiks..terharu bacanya, Ramadhan pergi Dan kita membiarkan banyak kesia-siaan terjadi. Padahal belum tentu tahun depan kita berjumpa lagi😑. Terima kasih sudah diingatkan Mbak
ReplyDeleteKita saling mengingatkan yah, semoga tahun depan masih bisa bersua dengan bulan yang sangat mubarakah ini. Aamiin.
DeleteSedih :(
ReplyDeleteIyah semoga tahun depan dapat bersua lagi dengan Ramadan yang penuh berkah.
DeleteMasyaAllah ..
ReplyDeleteBersyukurlah hati yg diberi kepedihan saat ramadhan mulai berlalu..
makasih sharingnya kak :(
Semoga tahun depan bisa komitmen untuk khusyuk ber-ramadhan
Amin allahumma amin
Delete