Awalnya
aku ingin menulis tentang kisahku ketika berurusan dengan ombdusman, beberapa
kata telah tertulis, namun saat membaca tulisan Mbak Runi Adriyani, tiba-tiba
aku tercenung. Lalu tulisan itu tak dapat lagi kuteruskan lalu akhirnya
kuhapus, maka jadilah tulisan ini.
Profesiku
guru sejak tahun 1984 hingga saat ini, dan aku tidak menjamin diriku kalau selama
menjadi guru, aku bersih dari amarah, dan amarah itu bisa jadi membekas di hati
murid-muridku, atau bisa jadi membekas pula di hati orang tua muridku.
Oh..Ilahi Rabbi, ampuni hambaMu ini.
Wahai murid-muridku, maafkanlah gurumu ini.
Oh..Ilahi Rabbi, ampuni hambaMu ini.
Wahai murid-muridku, maafkanlah gurumu ini.
Seperti
kejadian waktu itu, salah seorang muridku, tiap hari ke sekolah memakai baju
kaos dengan celana warna hitam, padahal itu bukan pakaian seragam sekolah.
Setiap kali ditanya, mengapa tidak memakai pakaian seragam. Maka dengan entengnya dia menjawab.
“Pakaian seragamku basah, Bu.”
Setiap kali ditanya, mengapa tidak memakai pakaian seragam. Maka dengan entengnya dia menjawab.
“Pakaian seragamku basah, Bu.”
Kok
bisa yah, setiap hari basah, padahal saat itu bukan musim hujan. Tentu saja aku
kesal mendengar alasan yang mengada-ada itu. Hingga akhirnya, si anak mendapat
surat panggilan untuk orang tuanya.
Maka
hari itu, Ibunya datang memenuhi surat pemanggilan orang tua. Seorang perempuan setengah baya, datang dengan rona kesal, langkahnya tegap, pakaiannya seperti
orang yang mau ke pesta demikian pula dandanannya.
”Mari
Bu..” Sapaku ramah. Si Ibu hanya mengangguk dengan senyum tipis, cenderung sinis.
“Kenapa aku dipanggil, Bu? Apa kesalahan anakku?” Suaranya sedikit parau dengan tekanan yang menandakan kalau dia lagi kesal.
“Kenapa aku dipanggil, Bu? Apa kesalahan anakku?” Suaranya sedikit parau dengan tekanan yang menandakan kalau dia lagi kesal.
“Begini
Bu, Kami memanggil Ibu, selain ingin bersilaturahim, kami juga mau tahu,
mengapa anak Ibu kalau ke sekolah tidak memakai seragam?”
“Oh
itu masalahnya? Kayaknya anakku masih mengingat kebiasaannya ketika masih
belajar di luar negeri, de..” Si Ibu menjawab dengan bangga.
“Tetapi di sekolah ini kan peraturannya harus memakai pakaian seragam Bu.” Jawabku sabar.
“Kenapakah sekolah mesti membuat peraturan seperti itu? Bukankah kita sudah merdeka, masa berpakaian saja mesti diatur-atur, coba de..Ibu guru melihat sekolah di luar negeri, di sana bebas kok.” Volume suara si Ibu mulai sedikit naik.
“Kenapakah sekolah mesti membuat peraturan seperti itu? Bukankah kita sudah merdeka, masa berpakaian saja mesti diatur-atur, coba de..Ibu guru melihat sekolah di luar negeri, di sana bebas kok.” Volume suara si Ibu mulai sedikit naik.
“Ini
salah satu tata tertib sekolah, Bu. Jika Ibu tidak berkenan, kami persilahkan
mencari sekolah lain yang mempunyai peraturan seperti yang ibu inginkan.” Nah…keluar
juga tuh kata-kata yang sedari tadi
kutahan.
“Ooo…
Ibu guru mau keluarkan anakku? Baik akan kulaporkan ke Pak Kadis Pendidikan,
Ibu tidak tahu siapa aku? Aku ini isteri pejabat, aku bisa adukan Ibu dan
sekolah ini, kalau perlu aku panggil wartawan dan memuat di koran tentang
kelakuan ibu yang berlaku sewenang-wenang kepada anakku” Si Ibu nyerocos sambil
berdiri dengan mata melotot.
Lho kok?
Lho kok?
Spontan
aku ikut berdiri, kesal dan mulai terpancing untuk ikut marah, namun dengan
segala daya kucoba menahan amarah. Aku duduk kembali, meraih gelas yang berisi
air putih dan glek..glek.. air dalam gelas ludes menyejukkan kerongkonganku
yang kering.
Aku menatap wajah si Ibu yang semakin merah karena amarah, sejurus kemudian aku ikut berdiri, menyentuh bahunya pelan, menatap matanya sambil berkata.
“Sabar Bu, kenapa mesti marah? Aku kan hanya menawarkan jalan yang terbaik, jika Ibu tidak bersedia mengikuti aturan dan tata tertib sekolah berarti ibu tidak ikhlas menyekolahkan anaknya di sekolah ini.” Dengan perlahan aku menekan sedikit bahunya untuk duduk kembali, lalu kulanjutkan dengan kalimat berikut.
“Kebetulan
sekolah ini aturannya seperti itu, siapa tahu ada sekolah lain yang tidak
menerapkan aturan pakaian seragam, itu kan bisa jadi pilihan Ibu, dan jika Ibu
mau melaporkan kami ke manapun, silahkan. Sekedar informasi, aku dan guru lainnya tidak
pernah membedakan, siapapun orang tuanya.”
Kulihat
wajah si Ibu semakin merah, menjadi lebih garang, lalu berdiri dengan
menghentakkan kakinya, sambil memukul meja hingga gelas dan barang lain yang ada
di atas meja bergetar. Ia memandangku dengan mata melotot lalu membalikkan
badannya keluar dari ruangan tanpa berkata sepatah katapun.
Aku
mengelus dada, lalu duduk merenung. Apa yang salah yah dari kata-kataku tadi.
Kejadian
itu sudah lama berlalu, tetapi masih sangat membekas dalam ingatan. Setiap kali
aku menghadapi orang tua muridku yang bermasalah, kejadian itu selalu datang
tanpa diundang.
Maafkan
aku, wahai orang tua muridku, jika bicaraku dan cara menangani masalah
anak-anak kita, tidak sesuai dengan harapan juga tidak sebaik caranya para ahli.